Selasa, 13 Oktober 2015

Tasawuf, Tarekat dan Islamisasi Di Indonesia (Bagian Kedua)

Masalah lain yang erat hubungannya dengan silsilah adalah proses tawajjuh (tatap muka). Tawajjuh semula mempunyai arti mengajar langsung, seorang guru berhadap-hadapan mengajar langsung kepada murid-muridnya. Dalam perkembangannya kemudian mempunyai arti khusus: tawajjuh merupakan perjumpaan di mana seseorang membuka harinya kepada syaikhnya dan membayangkan hatinya disirami berkah sang syaikh, sang syaikh membawa hati tersebut ke hadapan Nabi Muhammad Saw. Hal ini dapat berlangsung sewaktu pertemuan pribadi antara murid mursyid dan baiat merupakan pertemuan pertama.
Pemahaman silsilah juga membawa pada pemakaian teknik rabithah mursyid, “mengadakan hubungan batin dengan sang pembimbing” sebagai pendahuluan zikir, yaitu proses penghadiran (visualisasi) sang mursyid oleh murid dengan membayangkan hubungan yang sedang dijalani dengan sang mursyid. Hubungan itu sering kali dalam bentuk cahaya yang memancar dari sang mursyid. Sang penganut tarekat membayangkan gambar pembimbingnya dan semua wali dalam silsilahnya, lalu ia bayangkan seberkas cahaya memancar dari Allah dan turun ke kening Rasulullah. Dari sana cahaya itu memantul melalui wali-wali satu per satu berurutan, kemudian dari kening sang pembimbing langsung masuk ke hati sang murid yang ketika itu sedang menyebut “Allah, Allah”, maka mulailah zikir nama Tuhan.
Islamisasi Indonesia tidak terdokumentasi dengan baik sehingga banyak spekulasi di kalangan ilmuwan yang menimbulkan perdebatan yang belum selesai. Karena luasnya wilayah Indonesia tidak mungkin islamisasi menurut pola yang seragam. Ada yang melalui perdagangan, atau aliansi politik antar pedagang dengan putri bangsawan, atau mungkin juga melalui penaklukan. Namun, secara umum proses tersebut berlangsung secara damai melalui peranan tasawuf dan tarekat.
Abad-abad pertama islamisasi Indonesia berbarengan dengan masa merebaknya tasawuf abad pertengahan dan pertumbuhan tarekat. Dalam abad-abad ini bermunculan tokoh-tokoh sufi yang terkenal seperti Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) dengan konsep tasawuf yang diterima oleh para fuqaha, Ibn al-Arabi (w. 1240) yang mempengaruhi hampir semua sufi yang muncul belakangan, Abdul al-Qadir al-Jilani (w. 1166) yang ajarannya menjadi dasar Tarekat Qadiriyah, Abu al-Najib al-Suhrawardi (w. 1167) yang darinya nama tarekat Suhrawardi diambil, Najmu al-Din al-Kubra (w. tahun 1221) tokoh sufi Asia Tengah pendiri tarekat Kubrawiyah dan sangat berpengaruh terhadap tarekat Naqsyabandiyah, Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 1258) sufi Afrika Utara pendiri tarekat Syadziliyah, Rifa’iyah telah mapan sebagai tarekat menjelang 1320, Khalwatiyah menjelma menjadi tarekat ± 1300 dan 1450, Naqsyabandiyah menjadi tarekat khas pemberi namanya Baha al-Din Naqsyabandi (w. 1389), dan Abdullah al-Syaththar pendiri Tarekat Syattariyah (w. 1428-1429).
Sejarawan mengemukakan bahwa karena faktor tasawuf dan tarekatlah islamisasi Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dapat berlangsung dengan damai. Ajaran kosmologis dan metafisis tasawuf Ibn ‘Arabi dapat dengan mudah dipadukan dengan ide-ide sufistik India dan ide-ide sufistik pribumi yang dianut masyarakat setempat. Konsep Insan Kamil sangat potensial sebagai legitimasi religius bagi para raja. Bahkan sampai sekarang Islam Indonesia masih diliputi sikap sufistik dan kegemaran kepada hal-hal yang mengandung keramat. Di antara naskah-naskah Islam paling tua dari Jawa dan Sumatra yang masih ada sampai sekarang (dibawa ke Eropa sekitar tahun 1600) terdapat risalah-risalah tasawuf dan cerita-cerita keajaiban yang berasal dan Persia dan India. Di dalam tulisan-tulisan Jawa masa belakangan, kita temukan adanya ajaran tasawuf yang Iebih kental sedangkan perihal tarekat mendapatkan banyak pengikut sekitar abad ke-18 dan 19 Masehi.

Bersambung ke bagian III


Tidak ada komentar:

Posting Komentar