TAREKAT MUKTABAROH QODIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH ASAL-USUL DAN AJARANNYA
PENDAHULUAN
Menurut Harun Nasution, tarekat
adalah jalan yang harus ditempuh seorang murid agar berada sedekat mungkin
dengan Tuhan di bawah bimbingan seorang guru Mursyid. Tarekat mencoba memberi
rasa aman dan kesejahteraan di kehidupan akhirat kepada para pengikutnya,
setelah mereka merasa bahwa kehidupan mereka di dunia sudah mendekati akhir. Di
samping itu tarekat berusaha membuka pintu Surga bagi publik. Tarekat adalah
jalan untuk memastikan kesamaan peluang untuk masuk Surga bagi semua lapisan
masyarakat, baik yang alim, awam, kaya atau pun miskin.
Ruh sebelum masuk ke tubuh memag suci, tetapi setelah bersatu dengan tubuh sering kali menjadi kotor karena digoda hawa nafsu. Maka agar dapat mendekatkan diri pada Tuhan yang Maha Suci, ruh manusia harus terlebih dahulu disucikan. Sufi-sufi besar kemudian merintis jalan sebagai media untuk penyucian jiwa yang dikenal dengan nama thariqat (jalan).
Para ahli mistik dalam berbagai
tradisi keagamaan cenderung menggambarkan langkah-langkah yang membawa kepada
kehadirat Tuhan sebagai jalan. Pembagian 3 (tiga) jalan dalam agama Islam
menjadi Syariat,Tarekat dan Hakikat. Jalan tri tunggal kepada Allah dijelaskan
dalam suatu hadis Rasulullah SAW. sebagai berikut : “Syariat adalah perkataanku
(aqwali), tarekat adalah perbuatanku (Ahwali), dan hakikat adalah keadaan
batinku (Ahwali)." (Abdullah Hawas, h. 90)
Tarekat adalah jalan yang harus
ditempuh para sufi, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat,
sebab jalan utama disebut Syar sedang anak jalanan disebut thariq. Kata turunan
ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan
cabang dari jalan utama yang terdiri atas hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap
Muslim. Tak mungkin ada jalan tanpa adanya jalan utama tempat ia berpangkal.
Pengalaman mistik tak mungkin
didapat bila perintah Syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu
dengan seksama. Akan tetapi tariq atau jalan itu lebih sempit dan lebih sulit
dijalani serta membawa salik (orang yang menempuh jalan sufi) sampai secepat
mungkin mencapai tujuan yaitu tauhid sempurna berupa pengakuan berdasarkan
pengalaman bahwa Tuhan adalah satu.
Di antara berbagai macam tarekat
yang ada terdapat tarekat yang bernama Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan penggabungan dari dua Tarekat
besar yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Penggabungan kedua
tarekat ini dimodifikasi sedemikan rupa, sehingga terbentuk sebuah Tarekat yang
mandiri dan berbeda dengan kedua tarekat induknya. Jadi tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah yang ada di Indonesia merupakan tarekat yang mandiri yang di
dalamnya terdapat unsur-unsur Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.
Dari segi jama’ah atau pengikut
tarekat, penganut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sangat banyak sekali,
menyebar diseluruh nusantara maupun di manca negara. Akan tetapi kalau kita
lihat dari segi umur mereka, rata-rata para pengikut tarekat ini berusia lebih
ataupun usia lanjut, dan sangat jarang sekali kita temui para pengikut yang
masih dalam usia relatif masih muda. Nah, dari segi ini maka timbul suatu
pertanyaan apakah tarekat itu memang dikhususkan untuk orang tua yang lanjut
usia.
PEMBAHASAN
Asal Usul Gerakan Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah
Di Indonesia terkenal sebuah Tarekat
bernama Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Tarekat ini merupakan tarekat terbesar,
terutama di pulau Jawa. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang ada di
Indonesia didirikan oleh sufi dan Syekh besar masjid al-Haram Mekah al-
Mukaramah. Ia bernama Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar al- Sambasi al-Jawi.
Ia wafat di Mekah pada tahun 1878 M. Beliau adalah seorang ulama besar dari
Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Mekah. Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah, merupakan gabungan dari dua tarekat yang berbeda yaitu Tarekat
Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh
Abd al-Qadir al-Jailani (W. 561/1166 M). Syekh Abd al-Qadir al-Jailani selalu menyeru
kepada murid-muridnya agar bekerja keras dalam kehidupan sebagai bekal untuk
memperkuat ibadah yang dihasilkan dari hasil keringat sendiri. Ia juga melarang
kepada muridnya menggantungkan hidup kepada masyarakat. Al-Jailani juga
mengingatkan kepada pengikut tarekat agar tetap perpegang pada Sunah Rasulullah
dan Syari’at agama Islam. Dia juga mengingatkan bahwa setan banyak menyesatkan
ahli tarekat dengan menggodanya agar meninggalkan syari’at karena sudah
melaksanakan tarekatnya.
Tarekat Qadiriyah terus meluas
jaringannya hampir ke seluruh negeri Islam termasuk Indonesia. Bahkan manaqib
(sejarah kelahiran dan sejarah keistimewaanya), kini senantiasa mewarnai
prosesi ritual Islamiyah di daerah jawa setidak-tidaknya nama pendiri tarekat
ini selalu disebut dalam prosesi ritual. Ini menunjukan betapa lestarinya
ajaran yang dikembangkan oleh sebuah institusi tarekat.
Sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah
didirikan oleh Muhammad ibn Muhammad Bahauddin al-Naqsyabandi yang hidup antara
tahun 717-791 H./ 1317-1389 M. Ia dilahirkan di desa yang bernama Qashrul
Arifin yang terletak beberapa kilometer dari kota Bukhara, Rusia.
Kedua tarekat tersebut kemudian
dimodifikasi oleh Syekh Khatib Sambas. Sebagai seorang yang alim dan ma’rifat
kepada Allah, Syekh Khatib Sambas memiliki otoritas untuk membuat modifikasi
tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya karena dalam Tarekat Qadiriyah memang
ada kebebasan untuk memodifikasi bagi yang telah mencapai derajat mursyid.
Dalam Tarekat Qadiriyah apabila seorang murid telah mencapai derajat syekh
seperti gurunya, ia tidak diharuskan untuk selalu mengikuti tarekat gurunya.
Seorang syekh Tarekat Qadiriyah berhak untuk tetap mengikuti tarekat guru
sebelumnya atau memodifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal ini
karena ada petuah dari Syekh Abdul Qadir al- Jailani bahwa murid yang telah
mencapai derajat gurunya, maka ia jadi mandiri sebagai syekh dan Allah lah yang
menjadi walinya untuk seterusnya. (Abdullah Hawas, h. 75)
Syekh Khatib Sambas sangat berjasa
dalam menyebarkan tarekat ini di Indonesia dan Melayu hingga wafat. Di Mekah ia
juga menjadi guru sebagian ulama Indonesia modern dan mendapatkan ijazah.
Sekembalinya ke Indonesia ia menjadi guru tarekat dan mengajarkannya sehingga
tarekat ini tersebar luas di seluruh Indonesia, diantaranya Syekh Nawawi
al-Bantani (wafat 1887 M), Syekh Halil (w. 1918 M), Syekh Mahfuzd Attarmasi (w.
1923 M), dan Syekh M. Hasyim Asy’ari pendiri NU di Indonesia. Semuanya
merupakan murid Syekh Khatib Sambas. Ketokohan Syekh Khatib Sambas yang menonjol
adalah di bidang tasawuf. Beliau sebagai pemimpin atau mursyid tarekat
Qadiriyah yang berpusat di Mekah pada waktu itu. Di samping itu beliau juga
sebagai mursyid tarekat Naqsyabandiyah. (Martin Van Bruinessen, hlm 35)
Pada masanya telah ada pusat penyebaran
Tarekat Naqsyabandiyah di kota suci Mekah dan Madinah sehingga sangat
memungkinkan ia mendapat baiat tarekat Naqsyabandiyah dari kemursyidan
tersebut. Kemudian ia menggabungkan inti kedua ajaran tarekat tersebut, yaitu
Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah dan mengajarkan pada
murid-muridnya terutama yang berasal dari Indonesia. Penamaan Tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah tidak lepas dari sikap tawadu dan ta’zim Syekh Khatib Sambas
kepada pendiri kedua tarekat tersebut sehingga beliau tidak menisbatkan nama
tarekatnya pada dirinya sendiri. Padahal kalau melihat modifikasi ajarannya dan
tata cara ritual tarekatnya itu, lebih tepat kalau dinamakan dengan Tarekat
Khatibiyah atau Tarekat Sambasiyah, karena memang tarekatnya merupakan buah
dari ijtihadnya.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
yang terdapat di Indonesia bukanlah hanya merupakan suatu penggabungan dari dua
tarekat yang berbeda yang diamalkan bersama-sama. Tarekat ini menjadi sebuah
tarekat yang baru dan berdiri-sendiri, yang di dalamnya unsur-unsur pilihan
dari Qadiriyah dan Naqsyabandiyah telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru.
Penggabungan inti dari kedua ajaran ini atas dasar pertimbangan logis dan
strategis bahwa kedua ajaran inti itu bersikap saling melengkapi terutama dalam
hal jenis dzikir dan metodenya.(Aboebakar Atjeh, hlm 52)
Tarekat Qadiriyah menekankan
ajarannya pada dzikir jahr nafi isbat yaitu melafadkan kalimat lailahailalah
dengan suara keras, sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah menekankan pada dzikir
siri ismu dzat yaitu melafadkan kalimat Allah dalam hati.
Penyebaran Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah diperkirakan sejak paruh kedua abad ke-19, yaitu semenjak
tibanya kembali murid-murid Syekh Khatib Sambas ke tanah air. Di Kalimantan
Barat, daerah asal Syekh Khatib Sambas, tarekat ini disebarkan oleh kedua orang
muridnya yaitu Syekh Nuruddin yang berasal dari Pilipina dan Syekh Muhammad
Sa’ad putra asli Sambas. Karena penyebaran tidak melalui lembaga formal seperti
pesantren maka tarekat hanya tersebar dikalangan orang awam dan tidak
mendapatkan perkembangan yang berarti.
Lain halnya di pulau Jawa tarekat
ini disebarkan melalui pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin oleh para
pengikutnya sehingga mengalami kemajuan yang pesat. Penyebaran tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Jawa dilakukan oleh 3 (tiga) murid Syekh Khatib
Sambas, yaitu Syekh Abdul Karim Banten, Syekh Tholhah Cirebon, dan Kyai Ahmad
Hasbullah Madura. Syekh Abdul Karim Banten merupakan murid kesayangan Syekh
Ahmad Khatib Sambas di Mekah. Semula dia hanya sebagai khalifah Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten, tahun 1876 diangkat oleh Syeikh Khatib
Sambas menjadi penggantinya dalam kedudukan sebagai mursyid utama tarekat ini
yang berkedudukan di Mekah. Dengan demikian semenjak itu seluruh organisasi TQN
di Indonesia menelusuri jalur spiritualnya (silsilah) kepada ulama asal Banten
tersebut.
Khalifah dari Kyai Tholhah Cirebon
yang paling penting adalah Abdullah Mubarrok, belakangan dikenal sebagai Abah
Sepuh. Abdullah melakukan baiat ulang dengan Abdul Karim Banten di Mekah. Pada
dekade berikutnya Abah sepuh membaiat putranya K.H.A. Sohibul Wafa Tadjul
Arifin yang lebih masyhur dengan panggilan Abah Anom. Hingga sekarang Abah Anom
Masih menjadi mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Di bawah kepemimpinan Abah Anom ini,
tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di kemursyidan Suryalaya berkembang pesat.
Dengan menggunakan metode riyadah dalam tarekat ini Abah Anom mengembangkan
psikoterapi alternatif, terutama bagi para remaja yang mengalami degradasi
mental karena penyalahgunaan obat-obat yang terlarang, seperti, morfin, heroin
dan sebagainya.(Martin van bruinessen, hal 126)
Sampai sekarang di Indonesia ada 3
(tiga) pondok pesantren yang menjadi pusat penyebaran Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah yaitu :
- Pondok Pesantren Rejoso, Jombang, Jawa Timur,
- Pondok Pesantren Mranggen, Jawa Tengah,
- Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat
Pokok-Pokok Ajaran Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah
Sebagai suatu madzhab dalam tasawuf,
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah memiliki beberapa ajaran yang diyakini akan
kebenarannya, terutama dalam kehidupan kesufian. Ada beberapa ajaran yang
diyakini paling efektif dan efesian sebagai metode untuk mendekatkan diri
dengan Allah. Pada umumnya metode yang menjadi ajaran dalam tarekat ini
didasarkan pada al-Qur’an, Hadis, dan perkataan para sufi. (Fuad Said, hlm 67)
Ada beberapa pokok ajaran dalam
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di antaranya ajaran tentang :
1. Kesempurnaan
Suluk
Ajaran yang sangat ditekankan dalam
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah suatu keyakinan bahwa kesempurnaan
suluk (merambah jalan kesufian dalam rangka mendekatkan diri dengan Allah),
adalah jika berada dalam 3 (tiga) dimensi keimanan, yaitu : Islam, Iman, dan
Ikhsan. Ketiga term tersebut biasanya dikemas dalam satu jalan three in one
yang sangat populer dengan istilah syariat, tarekat,dan hakikat .
Syariat adalah dimensi
perundang-undangan dalam Islam. Ia merupakan ketentuan yang telah ditentukan
oleh Allah, melalui Rasul-Nya Muhammad SAW. baik yang berupa perintah maupun
larangan. Tarekat merupakan dimensi pelaksanaan syari’at tersebut. Sedangkan
hakikat adalah dimensi penghayatan dalam mengamalkan tarekat tersebut, dengan
penghayatan atas pengalaman syari’at itulah, maka seseorang akan mendapatkan
manisnya iman yang disebut dengan ma’rifat.
Para sufi menggambarkan hakikat
suluk sebagai upaya mencari mutiara yang ada di dasar lautan yang dalam.
Sehingga ketiga hal itu (syari’at, tarekat, dan hakikat) menjadi mutlak penting
karena berada dalam satu sistem. Syariat digambarkan sebagai kapal yang
berfungsi sebagai alat transportasi untuk sampai ke tujuan. Tarekat sebagai
lautan yang luas dan tempat adanya mutiara. Sedangkan hakikat adalah mutiara
yang dicari-cari. Mutiara yang dicari oleh para sufi adalah ma’rifat kepada
Allah. Orang tidak akan mendapatkan mutiara tanpa menggunakan kapal.
Dalam Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah diajarkan bahwa tarekat diamalkan justru dalam rangka menguatkan
syari’at. Karena bertarekat dengan mengabaikan syariat ibarat bermain di luar
sistem, sehingga tidak akan dapat mendapatkan sesuatu kecuali kesia-siaan.
Ajaran tentang prinsip kesempurnaan
suluk merupakan ajaran yang selalu ditekankan oleh pendiri tarekat Qadiriyah,
yaitu Syekh Abdul Qadir al-Jailani, hal ini dapat dimaklumi, karena beliau
seorang sufi sunni dan sekaligus ulama fiqih.
2. Adab
Kepada Para Mursyid
Adab kepada mursyid (syekh),
merupakan ajaran yang sangat prinsip dalam tarekat. Adab atau etika murid
dengan mursyidnya diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai adab para sahabat
terhadap Nabi Muhammad SAW. Hal ini diyakini karena muasyarah (pergaulan)
antara murid dengan mursyid melestarikan sunnah (tradisi) yang dilakukan pada
masa nabi. Kedudukan murid menempati peran sahabat sedang kedudukan mursyid
menempati peran nabi dalam hal irsyad (bimbingan) dan ta’lim (pengajaran).
Seorang murid harus menghormati
syekhnya lahir dan batin. Dia harus yakin bahwa maksudnya tidak akan tercapai
melainkan ditangan syekh, serta menjauhkan diri dari segala sesuatu yang
dibenci oleh syekhnya.
3. Dzikir
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
adalah termasuk tarekat dzikir. Sehingga dzikir menjadi ciri khas yang mesti
ada dalam tarekat. Dalam suatu tarekat dzikir dilakukan secara terus-menerus
(istiqamah), hal ini dimaksudkan sebagai suatu latihan psikologis (riyadah
al-nafs) agar seseorang dapat mengingat Allah di setiap waktu dan kesempatan.
Dzikir merupakan makanan spiritual para sufi dan merupakan apresiasi cinta
kepada Allah. Sebab orang yang mencintai sesuatu tentunya ia akan banyak
menyebut namanya.
Yang dimaksud dzikir dalam tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah aktivitas lidah (lisan) maupun hati (batin)
sesuai dengan yang telah dibaiatkan oleh mursyid.
Dalam ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
terdapat 2 (dua) jenis dzikir yaitu:
1.
Dzikir nafi
isbat yaitu dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat “lailahaillallah”.
Dzikir ini merupakan inti ajaran Tarekat Qadiriyah yang dilafadzkan secara jahr
(dengan suara keras). Dzikir nafi isbat pertama kali dibaiatkan kepada Ali ibn
Abi Thalib pada malam hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke kota Yasrib
(madinah) di saat Ali menggantikan posisi Nabi (menempati tempat tidur dan
memakai selimut Nabi). Dengan talqin dzikir inilah Ali mempunyai keberanian dan
tawakaal kepada Allah yang luar biasa dalam menghadapi maut. Alasan lain Nabi
membaiat Ali dengan dzikir keras adalah karena karakteristik yang dimiliki Ali.
Ia seorang yang periang, terbuka, serta suka menentang orang-orang kafir dengan
mengucapkan kalimat syahadat dengan suara keras.
- Dzikir ismu dzat yaitu dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat “Allah” secara sirr atau khafi (dalam hati). Dzikir ini juga disebut dengan dzikir latifah dan merupakan ciri khas dalam Tarekat Naqsyabandiyah. Sedangkan dzikir ismu dzat dibaiatkan pertama kali oleh Nabi kepada Abu Bakar al-Siddiq, ketika sedang menemani Nabi di Gua Tsur, pada saat berada dalam persembunyiannya dari kejaran para pembunuh Quraisy. Dalam kondisi panik Nabi mengajarkan dzikir ini sekaligus kontemplasi dengan pemusatan bahwa Allah senantiasa menyertainya.
Kedua jenis dzikir ini dibaiatkan
sekaligus oleh seorang mursyid pada waktu baiat yang pertama kali. Dapatlah
difahami bahwa tarekat adalah cara atau jalan bagaimana seseorang dapat berada
sedekat mungkin dengan Tuhan. Diawal munculnya, tarekat hanya sebuah metode
bagaimana seseorang dapat mendekatkan diri dengan Allah dan masih belum terikat
dengan aturan-aturan yang ketat. Tetapi pada perkembangan berikutnya tarekat
mengalami perkembangan menjadi sebuah pranata kerohanian yang mempunyai
elemen-elemen pokok yang mesti ada yaitu: mursyid, silsilah, baiat, murid, dan
ajaran-ajaran.
Tujuan seseorang mendalami tarekat muncul setelah ia
menempuh jalan sufi (tasawuf) melalui penyucian hati (Tasfiyatul Qalb). Pada
prakteknya tasawuf merupakan adopsi ketat dari prinsip Islami dengan jalan
mengerjakan seluruh perintah wajib dan sunah agar mencapai ridha Allah.
Pengikut tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan tarekat
yang terbesar di Indonesia dari segi kelembagaannya maupun dari segi penganut
atau jama’ahnya. Di Jawa Timur khususnya Rejoso, Peterongan, Jombang merupakan
Kiblat dari jama’ah tarekat ini, selain itu ada pula yang merupakan pecahan
dari Pondok Darul Ulum Peterongan jombang yaitu pondok cukir Jombang yang
dipimpin oleh KH. Adhlan ali.
Dari kedua Pondok besar tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah mayoritas
dari pengikutnya adalah lansia, jarang sekali ditemui para kawula muda yang
ikut menjadi ahlut tarekat. Alasan yang mungkin dapat dibenarkan yaitu istilah
tarekat atau jalan trabas kepada Allah SWT lebih cocok di ikuti oleh para
lansia yang mana mereka sudah tidak berfikiran akan keduniaan lagi, akan tetapi
sudah berkonsentrasi penuh untuk mencapai kesempurnaan dalam ibadah kepada
Allah SWT. Demikian pula untuk kawula muda mereka memang belum cocok untuk
masuk dalam tarekat karena pastinya kebanyakan kawula muda masih sering
berpikiran tentang dunia.
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang ada di
Indonesia didirikan oleh sufi dan Syekh besar masjid al-Haram Mekah al-
Mukaramah. Ia bernama Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar al- Sambasi al-Jawi.
Ia wafat di Mekah pada tahun 1878 M. Beliau adalah seorang ulama besar dari
Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Mekah. Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah, merupakan gabungan dari dua tarekat yang berbeda yaitu Tarekat
Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh
Abd al-Qadir al-Jailani (W. 561/1166 M). Sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah
didirikan oleh Muhammad ibn Muhammad Bahauddin al-Naqsyabandi yang hidup antara
tahun 717-791 H./ 1317-1389 M. Yang kemudian kedua tarekat tersebut kemudian
dimodifikasi oleh Syekh Khatib Sambas. Sebagai seorang yang alim dan ma’rifat
kepada Allah, Syekh Khatib Sambas memiliki otoritas untuk membuat modifikasi
tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya karena dalam Tarekat Qadiriyah memang
ada kebebasan untuk memodifikasi bagi yang telah mencapai derajat mursyid.
2. Ajaran-ajaran dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
adalah sebagai berikut :
a. Kesempurnaan Suluk
b. Adab Kepada Para Mursyid
c. Dzikir
1) Dzikir nafi isbat dzikir kepada Allah dengan menyebut
kalimat “lailahaillallah”
2) Dzikir ismu dzat yaitu dzikir kepada Allah dengan
menyebut kalimat “Allah” secara sirr atau khafi (dalam hati)
- Pegikut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah mayoritas sudah berusia lanjut
DAFTAR RUJUKAN
Aboebakar, atjeh.
1990. Pengantar Ilmu Tarekat, Uraian Tentang Misti. Solo: Ramdhani
Hawas, Abdullah,1990.
Perkembangan Tasawuf Dan Tokoh-Tokohnya Di Nusantara Surabaya : Al Ikhlas
Martin van
bruinessen, 1992. tarekat Naqsabandiyah Di Indonesia, Survei Historis,
Geografis Dan Sosiologis. Bandung: mizan
Martin van
bruinessen, 1995. Kitab Kuning,
Pessantren Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia. Bandung
: mizan
Mukti, Ali.
1971. Alam Pikiran Islam Modern Di Indonesia. Yogyakarta : Nida
Said, Fuad,
1999, Hakekat Tarekat Naqsabandiyah. Jakarta Al-Husna : zikra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar