Pendahuluan
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد
Istilah “sufi” atau “tasawuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita,
terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini sangat
diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan
kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang awam beranggapan bahwa seseorang
tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf.
Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu
ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf, berupa
pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan
bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin
menambah keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang
yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allah ta’ala
Sebelum kami membahas tentang hakikat tasawuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian
benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan cuma dilihat dari pengakuan
lisan atau penampilan lahir semata, akan tetapi yang menjadi barometer
adalah sesuai tidaknya pemahaman tersebut dengan Al Quran dan As Sunnah
menurut apa yang dipahami salafush shalih. Sebagai bukti akan hal ini kisah khawarij, kelompok yang pertama menyempal dalam islam yang diperangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berdasarkan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Padahal kalau kita melihat pengakuan lisan dan penampilan lahir
kelompok khawarij ini maka tidak akan ada seorang pun yang menduga
bahwa mereka menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan yang besar dalam
batin mereka, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjelaskan ciri-ciri kelompok khawarij ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“…Mereka (orang-orang khawarij) selalu mengucapkan (secara
lahir) kata-kata yang baik dan indah, dan mereka selalu membaca Al
Quran tapi (bacaan tersebut) tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak
masuk ke dalam hati mereka)…” (HSR Imam Muslim 7/175, Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu).
Dan dalam riwayat yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…
Bacaan Al Quran kalian (wahai para sahabatku) tidak ada artinya jika
dibandingkan dengan bacaan Al Quran mereka, (demikian pula) shalat
kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan shalat mereka,
(demikian pula) puasa kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan puasa mereka (HSR Imam Muslim 7/175, Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu)
Maka pada hadits yang pertama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan tentang ciri-ciri mereka yang selalu mengucapkan kata-kata
yang baik dan indah tapi cuma di mulut saja dan tidak masuk ke dalam
hati mereka, dan pada hadits yang ke dua Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menerangkan tentang penampilan lahir mereka yang selalu mereka
tampakkan untuk memperdaya manusia, yaitu kesungguhan dalam beribadah
yang bahkan sampai kelihatannya melebihi kesungguhan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam beribadah (karena memang para Sahabat radhiyallahu ‘anhum berusaha keras untuk menyembunyikan ibadah mereka karena takut tertimpa riya)
Yang kemudian prinsip ini diterapkan dengan benar oleh Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, tatkala kelompok khawarij
keluar untuk memberontak dengan satu slogan yang mereka elu-elukan:
“Tidak ada hukum selain hukum Allah ‘azza wa jalla“. Maka Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menanggapi slogan tersebut dengan ucapan beliau radhiyallahu ‘anhu yang sangat masyhur -yang seharusnya kita jadikan sebagai pedoman dalam menilai suatu pemahaman- yaitu ucapan beliau radhiyallahu ‘anhu: “(slogan mereka itu ) adalah kalimat (yang nampaknya) benar tetapi dimaksudkan untuk kebatilan.”
Semoga Allah ‘azza wa jalla Merahmati Imam Abu Muhammad Al Barbahari yang mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya Syarhus Sunnah dengan ucapan beliau: “Perhatikan dan cermatilah -semoga Allah ‘azza wa jalla
merahmatimu- semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di
hadapanmu, maka jangan sekali-kali kamu terburu-buru untuk membenarkan
dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai kamu tanyakan dan
meneliti kembali: Apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan
oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamradhiyallahu ‘anhu atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlussunnah? Kalau kamu dapati ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka radhiyallahu ‘anhum
berpegang teguhlah kamu dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan
janganlah (sekali-kali) kamu meninggalkannya dan memilih pemahaman
lain, sehingga (akibatnya) kamu akan terjerumus ke dalam neraka!” (Syarhus Sunnah,
tulisan Imam Al Barbahari hal.61, tahqiq Syaikh Khalid Ar Radadi).
Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang
hakikat tasawuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar
atau tidaknya ajaran tasawuf ini.
Definisi Tasawuf/Sufi
Kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Shufiya” yang artinya: hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf”
(kain wol) dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman
dulu selalu diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan
bahwa memakai pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihi sallam (Lihat kitab kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was Sunnah” (hal. 13), tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ada perbedaan pendapat dalam
penisbatan kata “Shufi”, karena kata ini termasuk nama yang
menunjukkan penisbatan, seperti kata “Al Qurasyi” (yang artinya:
penisbatan kepada suku Quraisy), dan kata “Al Madani” (artinya:
penisbatan kepada kota Madinah) dan yang semisalnya. Ada yang
mengatakan: “Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah (Ash Shuffah adalah semacam teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa orang sahabat Muhajirin radhiyallahu ‘anhum yang miskin, karena mereka tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengizinkan mereka tinggal sementara di teras tersebut sampai mereka
memiliki tempat tinggal tetap dan peng- hidupan yang cukup. Lihat kitab
Taqdis Al Asykhash tulisan Syaikh Muhammad Ahmad Lauh 1/34,
-pen), tapi pendapat ini (jelas) salah, karena kalau benar demikian
maka mestinya pengucapannya adalah: “Shuffi” (dengan huruf “fa’ “yang
didobel). Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” (barisan)
yang terdepan di hadapan Allah ‘azza wa jalla, pendapat ini pun
salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah
“Shaffi” (dengan harakat fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’ ” yang
didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah”
(orang-orang terpilih) dari semua makhluk Allah ‘azza wa jalla,
dan pendapat ini pun salah karena kalau benar demikian maka mestinya
pengucapannya adalah: “Shafawi”. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada
(seorang yang bernama) Shufah bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin
Thabikhah, satu suku dari bangsa Arab yang di zaman dulu (zaman
jahiliah) pernah bertempat tinggal di dekat Ka’bah di Mekkah, yang
kemudian orang-orang yang ahli nusuk (ibadah) setelah mereka
dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini juga lemah meskipun lafazhnya
sesuai jika ditinjau dari segi penisbatan, karena suku ini tidak
populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan orang-orang ahli ibadah, dan
kalau seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan kepada mereka maka
mestinya penisbatan ini lebih utama di zaman para sahabat, para tabi’in
dan tabi’ut tabi’in, dan juga karena mayoritas orang-orang yang
berbicara atas nama shufi tidak mengenal qabilah (suku) ini dan tidak
ridha dirinya dinisbatkan kepada suatu suku yang ada di zaman jahiliyah
yang tidak ada eksistensinya dalam islam. Ada juga yang mengatakan
-dan pendapat inilah yang lebih dikenal- nisbat kepada “Ash Shuf” (kain
wol)(Majmu’ul Fatawa, 11/5-6).
Lahirnya Ajaran Tasawuf
Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum
bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi
sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah
zaman tiga generasi ini. (Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”,
lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh
ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan
telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan
lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan
yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya
beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dariHasan
Al Bashri” (Majmu’ Al Fatawa 11/5).
Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama
kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap
berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota
(islam) lainnya (Majmu’ Al Fatawa, 11/6).
Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang
lahirnya diawali dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian
orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari
kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian, sehingga
orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka
karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia
pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka
bersenang-senang dan bermain pada diri mereka. (Talbis Iblis hal 161).
Dan berkata DR. Shabir Tha’imah dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan
(hal. 17) “Dan jelas sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan
Nasrani -yang mereka selalu memakai pakaian wol ketika mereka berada di
dalam biara-biara- pada orang-orang yang memusatkan diri pada kegiatan
ajaran tasawuf ini di seluruh penjuru dunia, padahal Islam telah
membebaskan dunia ini dengan tauhid, yang mana gaya hidup ini dan
lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas pada tingkah laku
para pendahulu ahli tasawuf.” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan
dalam kitabnya Haqiqat At Tasawwuf, hal. 13).
Dan berkata Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir dalam kitab beliau At Tashawuf, Al Mansya’ wa Al Mashdar
hal. 28 “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawuf yang
dulu maupun yang sekarang dan ucapan-ucapan mereka, yang dinukil dan
diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu maupun sekarang, kita
akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut
dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah. Dan sama sekali tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla,
bahkan justru sebaliknya kita dapati ajaran tasawuf ini diambil dan
dipungut dari kependetaan model Nasrani, dari kebrahmanaan model agama
Hindu, peribadatan model Yahudi dan kezuhudan model agama Budha” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal. 14).
Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawuf
adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam, hal ini terlihat jelas pada
amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf,
amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan yang kami
maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang
banyak melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama, adapun ahli
tasawuf yang terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain. (Lihat kitab Haqiqat At Tashawwuf tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan hal. 15)
-bersambung insya Allah-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar