Kamis, 27 Februari 2020

Syari`at, Tarekat dan Hakikat







yariat berasal dari Bahasa Arab, menurut Kamus Al-Munawir ialah jalan yang lurus (at-tariqat al-mustaqimat), yakni jalan yang dengan mudah da­pat mengantarkan seseorang ke tempat yang ia tuju.[1]
Dalam perkembangan selanjutnya, isti­lah Syariat oleh para ulama dipergunakan untuk pengertian “segala aturan” yang di­tentukan A11ah untuk para hamba-Nya. baik yang berkenaan dengan soal-soal akidah maupun yang bertalian dengan masa­lah-masalah hukum. Aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah itu dinamai Syariat, karena pada umumnya bersifat tegas dan jelas sehingga mudah dimengerti dan di­ikuti bagaikan jalan raya (tol) yang mulus tanpa ada tikungan dan simpangan. Atau, laksana air yang terns mengalir memberi daya hidup bagi tubuh manusia, aturan-­aturan yang ditetapkan Tuhan, menggerak­kan suasana kehidupan rohani yang man­tap dan mengarahkan akal pikiran ke arah berpikir yang sehat dan dinamis.
Al-Quran al-Karim, yang dalamnya juga kita jumpai kata syara`a dan syara`u (surat asy-Syura: 13 dan 31), mempergunakan kata syir`at dan syariat (masing-maring li­hat surat al-Maidah: 48 dan al-Jasiyah: 18) dalam arti jalan atau aturan-aturan agama yang telah ditetapkan Tuhan untuk kehidupan umat manusia.[2]
Istilah syara`i jamak dari kata Syariat pada masa-masa awal Islam digunakan un­tuk pengertian masalah-masalah pokok ajaran Islam. Orang-orang Arab Badui. ko­non diriwayatkan pernah meminta Nabi supaya mengutus seseorang guna meng­ajarkan “syara`i al-lslam” kepada mereka. Yang dimaksudkan tentu adalah ajaran­-ajaran pokok agama Islam.
Dalam pada itu istilah Syariat di masa­-masa awal Islam tampaknya mempunyai ruang-lingkup yang luas seluas ajaran-ajar­an Islam itu sendiri, tidak hanya menyangkut aspek hukum seperti yang umum di­kenal di masa-masa kemudian, akan tetapi juga mencakup masalah kalam dan lain-­lain. Tapi dalam perkembangan selanjut­nya. istilah Syariat kelihatannya menga­lami penyempitan jangkauan hingga akhir­nya terbatas pada masalah-masalah hu­kum.[3]
Dewasa ini hila disebut kata syariat, hampir dapat dipastikan bahwa yang di­maksud adalah hukum Islam atau fikih. Dan umum memang menganggap Syariat itu identik dengan fikih. Bukan saja kare­na keduanya mempunyai hubungan erat yang tak dapat dipisahkan, melainkan juga karena satu sama lain dipergunakan da­lam pengertian yang persis sama.[4]
Namun demikian tidak berarti bahwa antara Syariat dan fikih sama sekali tidak ada perbedaan di balik hubungan erat dan persamaan antara keduanya. Di antara perbedaan yang menonjol antara syariat dan fikih ialah:
Pertama: Syariat merupakan hak prerogative Allah yang kompetensi untuk me­netapkannya paling banter hanya dideligasikan kepada Nabi Muhammad. Sedang­kan fikih merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan manusia yakni para fukaha (para pakar hukum Islam) sebagai basil ijtihad mereka setelah melaku­kan pemahaman terhadap al-Qur`an dan al­-Hadis.
Penggunaan istilah Syariat Allah dan syariat Nabi Muhammad tidak fikih Allah dan fikih Muhammad. mengisvaratkan tentang perbedaan antara fikih dengan syariat. Demikian pula sebutan fikih Ha­nafl. fikih Maliki. fikih Fikih Syafi’i dan fikih Hambali; tidak syariat Hanafi, syariat Maliki dan lain-lain.
Al-Quran scndiri secara tidak langsung membedakan antara Syariat dengan fikih. Berbeda dengan kata fikih (dalam al­Quran tersebut 2o kali kata fikih) yang se­muanya dikaitkan dengan manusia, al-Quran melalu menghubungkan kata Syariat dengan Allah, kecuali pada kata syara`u yang terdapat dalam surat asy-Syura ayat 31 . Dalam ayat ini kata syari`at dipertali­kan dengan umat manusia, tetapi itu pun dalam nada pernyataan ketidak setujuan Allah terhadap mereka yang membuat ­buat Syariat.
Kedua: karena Syariat Islam itu meru­pakan aturan yang ditetapkan Allah dan atau Rasul-Nya (Muhammad), maka Sya­riat apa pun alasannya tidak dapat diro­bah atau diganti oleh siapa, kapan dan di mana pun. Sedangkan fikih Islam, yang mamerupakan hasil ijtihad mujtahid, kapan dan di mana perlu pada prinsipnya boleh dirobah.
Ketiga: syariat Islam pada umumnya berisi ketentuan-ketentuan hukum dasar yang bersifat global dan berjumlah relatif sedikit, sedangkan fikih Islam yang meru­pakan penjabaran syariat Islam, pada umumnya bersifat terperinci dan berjum­lah banyak.
Keempat: syariat Islam bersifat kekal dan universal. sementara fikih Islam seti­dak-tidaknya dalam perkara-perkara ter­tentu boleh jadi bersifat Iokal dan tempo­ral. Sebutan-sebutan fikih Irak, fikih Hijaz dan lain-lain umpamanya, menunjukkan keelokan fikih Islam dalam arti bisa berbeda antara fikih negara Islam yang satu dengan fikih negara Islam yang iain. De­mikian pula tentang perubahan ketentuan hukum fikih dari waktu ke waktu. Se­dangkan syariat tidak pernah terdenaar is­tilah syariat Saudi Arabia, syariat Mesir; syariat Pakistan atau syariat Indonesia dan iain-lain. Yang ada ialah istilah syariat  Allah, syariat Nabi Muhammad dan sya­riat Islam.[5]
Pengertian Tarekat
Tarekat (tariqat) secara harfiah berarti jalan, cara, atau metode[6]. Dalam lapangan tasawuf, istilah ini sampai abad ke-11 (5 H) dipakai dengan pengertian: jalan yang harus ditempuh oleh setiap calon sufi untuk mencapai tujuannya, yaitu ber­ada sedekat mungkin dengan Allah, atau dengan kata lain berada di hadirat-Nya tanpa dibatasi oleh hijab (hijab berarti dinding yang membatas,. mata batin sese­orang dengan Allah). Pada jalan tersebut terdapat sederetan maqam-maqam (sta­sion-stasion atau tahap-tahap) yang harus dilalui, seperti maqam tobat, zuhud, sa­bar, rida, mahabbah (cinta), dan makri­fatullah (mengenal Allah dengan hati-nu­rani). Bila calon sufi itu telah mencapai maqam makrifatullah, maka ia bukan lagi calon, tapi meningkat menjadi sufi secara aktual. Sejak berdirinya organisasi-organi­sasi atau kesatuan-kesatuan jemaah para sufi dengan para murid atau pengikut ma­sing-masing pada abad ke- 12 (6 H), isti­lah tarekat tidak lagi hanya mengandung arti jalan, seperti dijelaskan di atas, tapi juga mengandung arti organisasi atau ke­satuan jemaah sufi dengan murid atau pengikutnya tersebut.[7]
Sufi menjadi pemimpin tarekat (dalam arti kedua) ini disebut Syekh. Pada mulanya tempat tinggal Syekh tarekat itu menjadi pusat kegiatan pendidikan dan pembinaan para anggota tarekat, tetapi kemudian segera bermunculan ribat, seba­gai perkampungan khusus untuk pembi­naan tersebut. Anggota tarekat terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok murid atau pengikut yang tinggal dalam ribat dan memusatkan perhatian pada ibadat, dan kelompok pengikut awam yang ting­gal di luar ribat, serta tetap bekerja de­ngan pekerjaan mereka sehari-hari, tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka ikut berhimpun dalam ribat untuk menjalani latihan spiritual.[8]
Perluasan tarekat itu biasanya berlang­sung sebagai berikut: murid yang telah di­pandang oleh Syekh berhasil mencapai tingkat tertinggi, memperoleh ijazah (sua­tu pengakuan boleh menjadi guru tarekat) dari Syekh tersebut. Pemegang ijazah itu keluar dari ribat dan selanjutnya mengada­kan serta memimpin ribat yang serupa di tempat lain. Semakin banyak murid yang menerima ijazah berarti semakin banyak pula kemungkinan berdirinya ribat-ribat baru. Ribat yang baru ini pada gilirannya tentu menghasilkan pula guru-guru tare­kat. Demikianlah sebuah tarekat dengan sebuah ribat, yang berdiri di sebuah tem­pat, dapat meluas ke berbagai penjuru du­nia Islam, dengan jumlah ribat yang ba­nyak Tidak semua cabang atau ranting suatu tarekat, menghubungkan tarekatnya kepada nama tokoh pendiri pertama, tapi kepada Syekh pendiri cabang atau ranting itu sendiri. Itulah sebabnya nama-nama ta­rekat yang bermunculan di dunia Islam berpuluh-puluh atau ratusan banyaknya.[9]
Sejarah Islam menunjukkan bahwa tare­kat-tarekat, sejak bermunculan pada abad ke-12 (6 H), mengalami perkembangan yang pesat. Dapat dikatakan bahwa dunia Islam., sejak abad berikutnya (13/7 H), pa­da  umumnya dipengaruhi oleh tarekat. Tarekat-tarekat tampak memegang peran­an yang cukup besar dalam menjaga eksis­tensi dan ketahanan umat Islam, setelah mereka dilabrak secara mengerikan oleh gelombang-gelombang serbuan tentara Tartar (kota Bagdad sendiri dimusnahkan tentara Tartar itu pada 1258 (656 H).[10] (Sejak penghancuran demi penghancuran yang dilakukan oleh tentara Tartar itu, Islam yang diperkirakan orang akan le­nyap, tetap saja mampu bertahan, bahkan dapat merembes memasuki hati turunan para penyerbu itu dan memasuki daerah-­daerali baru. Pada umumnya para anggota tarekatlah yang berperan dalam penyebar­an Islam, sejak kehancuran kota Bagdad itu.[11] Tarekat-tarekatlah yang menguasai kehidupan umat Islam selama zaman perte­ngahan sejarah Islam (abad ke-13-18/ 7-12 H). Pengaruh tarekat mulai mundur sejak awal abad yang lalu. Serangan-se­rangan terhadap tarekat, yang dulunya di­pelopori oleh Ibnu Taimiyah (w. 1327/ 728 H) terdengar semakin gencar dan kuat di masa modern. Tokoh-tokoh pembaharu dalam dua abad terakhir ini pada umum­nya memandang bahwa salah satu di anta­ra sebab-sebab mundur dan lemahnya umat Islam adalah pengaruh tarekat yang buruk (antara lain: menumbuhkan sikap taklid, sikap fatalistic, orientasi yang ber­lebihan kepada ibadat dan akhirat, dan tidak mementingkan ilmu pengetahuan).[12]
Dari sekian banyak tarekat yang pernah muncul sejak abad-abad ke-12 (6 H) itu, dapat dicatatkan antara lain: Tarekat Qa­diriyah (dihubungkan kepada Syekh Ab­dul-Qadir al-Jailani, yang wafat di Irak pa­da 1161 (561 H), yang mempunyai penga­nut di Irak, Turki, Turkestan, Sudan, Ci­na. India, dan Indonesia; Tarekat Rifa’i­vah (dihubungkan kepada Syekh Ahmad ar-Rifa’i, yang juga wafat di Irak pada 1182 (578 H), yang mempunyai pengikut di Irak dan Mesir; Tarekat Syaziliyah (di­hubungkan kepada Syekh Ahmad asy-Sya­zili, yang wafat di Mesir pada (1258/658 H), yang mempunyai pengikut di Mesir, Afrika Utara, Siria, dan negeri Arab lain­nya: Tarekat Maulawiyah (dihubungkan kepada Syekh Maulana Jalaluddin Rumi, yang wafat di Konya/Turki pada 1273/ 672 H), yang berpengaruh pada masyara­kat Turki: Tarekat Naqsyabandiyah (dihu­bungkan kepada Syekh Bahauddin Naq­syabandi yang wafat di Bukhara pada 1389 (791 H), yang mempunyai pengikut di Asia Tengah, Turki, India, Cina, dan Indonesia; dan Tarekat Syattariyah (dihu­bungkan kepada Syekh Abdullah asy­Syattari yang wafat di India pada 1236 (633 H), yang mempunyai pengikut di In­dia dan Indonesia.[13]
Pengertian Hakikat
Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-­benar ada. Kata ini berasal dari kata po­kok hak (al-Haq), yang berarti milik (ke­punyaan) atau benar (kebenaran). kata Haq, secara khusus oleh orang-orang sufi sering digunakan sebagai istilah untuk Allah, sebagai pokok (sumber) dari segala kebenaran, sedangkan yang berlawanan dengan itu semuanya disebut batil (yang tidak benar).[14]
Dalam ilmu tasawuf, hakikat merupa­kan salah satu bagian (tingkat) dari empat tingkatan ilmu: syariat, tarekat, makrifat dan bakikat. Syariat, sebagai ilmu yang paling awal, mempelajari tentang amal  iba­dat dan muamalat secara lahir.[15] Tarekat, sebagai ilmu kedua, mempelajari tentang latihan-latihan rohani dan jasmani yang di­lakukan sekelompok umat Islam (para sufi) menurut ajaran-ajaran tertentu, yang tujuan pokoknya adalah untuk memperte­bal iman dalam hati para pengikutnya, se­hingga tidak ada lagi yang lebih indah dan dicintai selain daripada Allah. Makrifat, sebagai tingkat ketiga, mempelajari ten­tang bagaimana mengetahui sesuatu de­ngan seyakin-yakinnya. Makrifat yang di­maksud di sini, adalah ma`rifatullah (me­ngenal Allah) baik zat-Nya, sifat-Nya mau­pun asma-Nya. Hakikat, sebagai tingkat terakhir dan lanjutan dari makrifat, berusaha menunjukkan basil dari makrifat itu ke dalam wujud yang sebenar-benarnya, atau pada tingkat kebenaran yang paling tinggi.[16]
Hakikat itu baru akan dicapai sesudah seseorang memperoleh makrifat yang sebenar­benarnya. Dan hakikat ini, hanya dapat dicapai dalam keadaan fana (hilangnya kesadaran diri dan alam sekelilingnya), karena hanya dalam keadaan yang demi­kianlah terbuka dan tersingkapnya tirai penutup yang merintangi seorang hamba dengan Tuhannya (kasyf al-mahjub). De­ngan demikian, hakikat merupakan pun­cak dari basil yang dicapai kaum sufi dalam usaha pendakian spiritual melalui tarekatnya. Dan biasanya, seorang sufi yang telah mencapai ma`rifatullah yang hakiki disebut ahli hakikat (ahlu al-Haqiqah).[17]
Menurut Ibnu Arabi, hakikat wujud ini adalah satu dalam jauhar dan zatnya, teta­pi berbilang dalam sifat dan asmanya. Se­lanjutnya ia mengatakan: “Manakala engkau meninjau dari sudut zat-Nya, eng­kau akan berkata, itulah Haq. Dan apabila engkau meninjau dari sudut sifat dan asma-Nya, dari sudut terjadinya segala se­suatu yang mumkinat, niscaya engkau ber­kata, itulah makhluk atau alam”.[18]
Hakikat juga dapat berarti ungkapan yang digunakan untuk menunjukkan mak­nanya yang pertama (makna yang sebenar­nya), kebalikan dari ungkapan majas (metafor). Akan tetapi ada beberapa ung­kapan majaz yang sudah sering digunakan, sehingga menjadi semacam konvensi, ma­jaz seperti ini dapat disebut sebagai haki­kat secara adat kebiasaan (haqiqat al-`urfi­yat).[19]
Hubungan Antara Syari`at, Tarekat,  dan Hakikat
Syariat adalah didisplin keIslaman yang menggarap aspek lahiriyah. Seiring klasifikasi zaman, syariat mengalami penyempitan arti dan garapan secara normatif yaitu fiqih.sedangkan asal mulanya syari`at merupakan pokok-pokok ajaran Islam yang masih utuh meliputi Tauhid, Hukum Islam, dan Akhlak. Menurut Fajrurrahman, Tauhid adalah bangunan pondasi yang menjadi pijakan utama dalam beragama dan syariat aturan formal yang membingkai aspek kehidupan secara legal. Adapun akhlak bidang garapan yang lahannya tingkah laku manusia dengan pendekatan sentuhan hati nurani untuk di aplikasikan dalam praktik kehidupan sehari-hari berdasarkan Al-Qur`an As-Sunnah.
Dari ketiga bidang di atas bila didalami, dihayati dan diamalakn oleh setiap kaum muslimin secara kontinyu (istiqomah) berdampak positif pada kehidupan sehari-hari. Para sufi dalam menterjemahkan ketiga aspek ini secara konstektual menjadi sebuah disiplin keilmuan dalam Islam yaitu Ilmu Tasawuf. Imam Al-Gazali dan Ihya Ulumuddin mengkombinasikan tauhid, fiqih, dan akhlak menjadi satu kesatuan yang utuh (saling terkait).
Kolerasi antara syariat dan hakikat bagaikan anak tangga yang satu sama lain saling berhubungan, tidak akan pernah ada hakikat tanpa jalan makrifat, makrifat tidak pernah ada tanpa melalui latihan (thariqat), Thariqat tidak pernah jalan tanpa adanya syari`at dan syari`at sendiri muncul karena adanya tauhid.
Untuk mempermudah pamahaman, penulis sekemakan sebagai berikut:
1.    Tauhid sebagai landasan utama dalam bertasawuf
2.    Syari`at sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan pandual Al-qu`an dan Al-Hadits.
3. Thariqat sebagai wahan latihan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan Mujahadah dan Muraqabah akhirnya tibul istiqamah
4. Ma`rifah adalah buah dari tariqat di atas yang berinflikasi kasyaf, mengetahui hakikat Tuhan.

Manaqib Al-Qutb Akwan Wa Gaustul Ibad Al-Fath Al-Kabir Al-Alimul Alamah Al-Arif Bilah As-syekh Al-Habib Muhammad Al-Aydrus



Allahumma Lakalhamdu Syukro, Wa lakalmannu Fadhla, Wa Anta Robbuna Haqqo, Wa Nahnu Abidika Riqqo

Dengan memuji kepada yang berhak mendapat Pujian , dalam segala Ke-Agungan yang senantiasa  berhiaskan kemilau Kebesaran, maka Wajiblah kita  selalu ber-syukur akan semua ini, tak lain hanyalah kepada Allah Robbun-Jalil, Sholawat dan Salam pun tak lupa pula kita panahkan kepada Jantung Hati Ke-Kasih yang dikasihi oleh sang Pengasih, yaitu Habibuna Wa Nabiyyuna Wa Syafi’una Muhammad SAW beserta para Shohabat, Keluarag serta  para pencinta beliau Ila Akhiriz-zaman. Yang mana dengan Kasih Sayang-nya pula kita selalu mendapat pantauan Rahmat oleh Sang Maha Pengasih.

Tidak ber-Iman seseorang apabila lalai dalam menjalankan praktek Syukur kepada Allah baik Syukur Bil Hal Bil Lisan maupun Bil Qolby. Dan Syukur pula merupakan salah satu jalan bagi para Penempuh dalam menggapai Tujuan Perjalanan seorang Salik.

Muhammad kecil yang elok.

Tak banyak diketahui oleh masyarakah Kalimantan khususnya di Kota Samarinda, bahwasanya puluhan tahun yang silam telah terlahir ke Alam yang fana ini seorang bayi yang elok perangainya, beberapa saat sebelum kelahiran-nya terdengar oleh ayahanda-nya akan suara bayi yang sedang mengucap Syahadat dan Sholawat yang Nampak kepada Allah dan Rosululloh , Gemuruh angin menyertai kelahirannya tanda suka cita-nya menyambut bayi tersebut, siapakah gerangan yang dimaksud ?

Terlahir dengan nama Muhammad itulah namanya, dalam darahnya telah mengalir darah Kakek-nya Muhammad SAW.  konon semenjak mengandung sang ibu selalu bermimpi akan kedatangan tamu yang menyatakan selamat lantaran melalui rahimnya akan lahir seorang bocah yang akan selalu menemani Sulthonul Awliya Syekh Abdul Qodir Jailani RA.

Semua bani Untsa (Manusia) mempunyai ikatan keturunan ke ayahnya, kecuali anak-anak Fatimah, maka kepada akulah(Rasulullah SAW) bersambung ikatan keturunan mereka dan akulah ayah-ayah mereka.” (H.R. Tobroni).

Setelah beranjak besar, Muhammad mendapat gemblengan sang Ayah dalam menjalankan berbagai disiplin Ilmu. Ayahnya mendapatkan sebuah keganjilan pada saat mendidik Muhammad, keganjilan tersebut adalah terlihat sang ayah pada saat Muhammad selalu menangis pada malam hari, maka sang ayahpun menanyakan hal tersebut, dengan lugunya Muhammad membuka baju dan pada tengah dada Muhammad nampak sebuah Lafadz Allah yang sedang menyala nyala. Sang ayah pun dengan haru-nya mengusap dada Muhammad dengan Air Sholawat yang telah dibacakan oleh ayahnya, setelah dibasahi dengan air tersebut Subhanalloh Cahaya yang menghiasi Lafadz Allah tersebut menyebar ke seluruh tubuh hingga akhirnya Muhammad pun tertidur dengan pulasnya.
Setelah ayahnya mengetahui akan Ihwal anaknya tesebut, maka sang ayah menekankan agar jangan sesekali membuka baju walau panas bagaimana pun, sejak saat itu Muhammad selalu mengenakan pakaian agar menutup hal itu.

Keganjilan lainnya adalah mulai kecil Muhammad sudah mengalami Kasyf (terbuka tirai), pernah Muhammad mengatakan sesuatu hal yang akan terjadi kepada ayahnya, karena sang ayah mengerti maka dengan sigap  sang ayah menekankan lagi agar memperbanyak diam (menjaga lisan) agar tidak terjadinya fitnah.

Perjalanan Muhammad

Setelah genap dewasa Habib Muhammad pun selalu menjaga Lisan-nya, dalam suatu malam Muhammad melihat (secara bathin) akan datang sebuah pesiar besar lengkap dengan para penumpangnya yang terlihat menjemput Muhammad, nampak oleh beliau nama pesiar tersebut yaitu “ safinatul awliya” yang berarti kapal para wali. Hal itu terus berlangsung hingga beberapa tahun

Alkisah pada akhir dari perjalanan tersebut, maka tibalah Habib Muhammad dijemput kembali oleh Nabiyulloh Khidir AS. Untuk meneruskan jenjang pendidikan selanjutnya, hingga akhirnya Muhammad mendapatkan Amaliyyah Khusus (tharekat) dari Nabi Khidir tersebut.
Beliau selalu tawaduk, beliau selalu duduk di atas tanah dan senantiasa sujud sebagai rasa bahwa dirinya tidak ada apa-apanya di hadapan Allah SWT. Beliau adalah seorang yang zuhud terhadap dunia dan menjauhi kepemimpinan. Beliau seorang yang sangat wara’ dan dermawan., seorang yang alim dan mengamalkan ilmunya, serta seorang ahli zuhud. Beliau adalah seorang al-’arif billah, mempunyai maqam yang tinggi dan karomah yang luar biasa. Beliau banyak mendapatkan ilmu-ilmu laduniyyah dan asrar-ghaibiyyah. Beliau jika berkata terhadap sesuatu, “Kun (jadilah),” maka sesuatu itu jadi sebagaimana yang dikehendakinya dengan Idzin Allah.” Beliau dapat mendengar tasbih dari benda mati.i

Dengan idzin Nabi Khidir maka beliau mengajarkan kepada Murid Murid beliau, pada saat itu tak terhitung lagi banyaknya Murid beliau, Namun Hidayah Allah lah yang berbicara, dari sekian banyak Murid yang ada hanya beberapa yang berhasil dalam mengikuti beliau, diantara murid beliau yang berhasil adalah

1.       yang bergelar Syekh,
2.       Syekh Sayyid Muhammad Yusuf Al-Kaf,
3.       Syekh Sayyid Muhammad Thalhah Maulana Al-Kaf.

Karomah Muhammad

Karomah  pada masa hidup beliau

Pada masih kecil-nya Habib Muhammad pernah ditawan (diikat) oleh berandal yang nakal, namun dengan tenang   Muhammad berkata dengan ucapan dari Ayat Al-Qur’an maka berandal tersebut terkejut dan hampir gila. Lalu berandal itupun meminta maaf seraya membuka ikatan tersebut.

Lagi suatu ketika pada saat bermain layang layang, dan akhirnya layang layang Habib Muhammad tersangkut pada atap salah seorang warga setempat, berlahan Habib Muhammad tarik maka bergoyang pula rumah tersebut, tak lama kemudian sang empunya rumah keluar dan melihat Muhammad sedang menarik layang layang, tanpa pikir panjang sang empunya rumah tersebut lalu memohon agar jangan menarik kembali layang layang itu, karena apabila dilanjutkan rumah itu akan roboh ucap nya.

Habib Muhammad dapat mengetahui isi (kata hati ) seseorang.

Karomah sesudah wafat beliau

Pada Alam Ahli Wilayyah, Habib Muhammad selalu duduk didepan  menemani Sulthonul Awliya Syekh Abdul Qodir Al-Jailani RA.

Sebagian para Ahli Wilayyah bermimpi bertemu Rosululloh SAW dan beliau memuji Habib Muhammad dengan ucapan :

-ini anak-ku
-ini ahli waris-ku
-ini darah daging-ku
-ini pewaris sunah-ku
-orang besar akan mengambil ijazah tharekat kepada –nya.

Pada saat murid beliau men-copy foto beliau berulang kali hasilnya Nihil, namum salah seorang dari murid berliau ber-Tawassul serta mohon idzin akhirnya dapatlah foto itu ter-copy.

Silsilah Tharekat beliau ringkas namun lurus.

Jama’ah Ahli Wilayyah berkata : ‘ Sesungguhnya memandang beliau menghilangkan kekotoran jiwa, kedudukan dan rahasia al-faqih al-muqaddam ada pada beliau’. Memandang beliau adalah obat bagi yang melihat, dan perkataannya obat penawar yang mujarrab’.


Wafat Habib Muhammad

Habib Muhammad wafat di Samarinda pada era 80 an dan bermakam pada Kuburan Muslimin.
Semoga Ruh beliau selalu bersama Allah, dan apa apa yang ditinggalkan beliau selalu menaungi Umat Islam.

Amin

DO’A

ASSALAMU’ALAIKA AYYUHANNABIYU WA ROHMATULLOHI WA BAROKATUH
ASSALAMU’ALAIKUM NABIYULLOH
ASSALAMU’ALAIKUM YA MALAIKATULLOH
ASSALAMU’ALAIKUM YAA WALIYULLOH
ASSALAMU’ALAIKUM YAA ALIMULLOH
ASSALAMU’ALAIKUM YAA AULIYA’ULLOH
ASSALAMU’ALAIKUM YAA HABIBULLOH
ASSALAMU’ALAIKUM YAA ULAMA’ULLOH
ASSALAMU’ALAIKUM YAA BI-IDZNILLAH
ASSALAMU’ALAIKUM YAA HIDAYATULLOH
ASSALAMU’ALAIKUM YAA ROHMATULLOH
ASSALAMU`ALAIKUM YAA ROHMANULLOH
ASSALAMU’ALAIKUM YAA RIDHO -LLOH

ASH-SHOLATU WASSALAMU ALAIKA YAA SAYYIDI YA SYAIKHONA  ABDIL QODIRIL AL-JAILANII MAHBUUBULLOHI ANTA SHOOHIBUL IJAAZATI IJAAZATA MUHAMMADIN MUHAMMADUN IJAAZATULLOHI ANTA SHOOHIBUL KAROOMATI KAROOMATA MUHAMMADIN MUHAMMADUN KAROOMATULLOHI ANTA SHOOKHIBUSY-SYAFAA-ATI SYAFAA-ATA MUHAMMADIN MUHAMMADUN SYAFAA-ATULLOHI. YAA SYAIKHO ABDAL QOODIRIL JAILANII AGHISTNII AGHISTNII AGHISTNII SYARII-AN BI-IZZATILLAHI.

ASH-SHOLATU WASSALAMU ALAIKA YAA SAYYIDII YAA HABIB MUHAMMAD AL-AYDRUS MAHBUUBULLOHI ANTA SHOOHIBUL IJAAZATI IJAAZATA MUHAMMADIN MUHAMMADUN IJAAZATULLOHI ANTA SHOOHIBUL KAROOMATI KAROOMATA MUHAMMADIN MUHAMMADUN KAROOMATULLOHI ANTA SHOOKHIBUSY-SYAFAA-ATI SYAFAA-ATA MUHAMMADIN MUHAMMADUN SYAFAA-ATULLOHI. YAA SYAIKHO HABIB MUHAMMAD AL-AYDRUS  AGHISTNII AGHISTNII AGHISTNII SYARII-AN BI-IZZATILLAHI.

ALLOHUMMA YAA ALLOH YAA ROHMAN  YAA ROHIM, BIROHMATIKA WASYAFAA-ATI ROSULIKA MUHAMMADIN SAW WAKAROMAATI SYAIKHI ABDIL QODIRIL JII-LANII WA HABIB MUHAMMAD AL-AYDRUS  IRHAMNAA WARHAM WAWALIDIINAA WA AULADANAA WA AHLANAA WA JAMI-ATANAA WA MASYAYIKHINA  WA TALAMIIDZANAA WA MAN AHSANA ILAINAA FIIKA ROHMATA TUGHNII-NAA AMMAN SIWAK.

YAA ALLOHU YAA TAWWAB  YAA GHOFFAR BIFADHLIKA WA SYAFAA-ATI ROSULIKA MUHAMMAD SAW WA KAROMAATI SYAIKHI ABDIL QODIRIL JIILANII  WA HABIB MUHAMMAD AL-AYDRUS  IGHFIRLANAA WA WALIDIINAA WA AULADINAA WA AHLINAA WA JAMAA-ATINAA WA MASYAYIIKHINAA WA TALAMIIDINAA WA MAN AHSANA ILAINA FIIKA, WAGHFIR LIL MUSLIMIINA WAL MUSLIMAATI WAL MU`MINIINA WAL MU`MINAATI AL AHYAA-I MINHUM WAL AMWAAT, INNAKA ANTAT TAWWABUR ROHIIM.

ROBBANA ATINA FIDDUNYA KHASANAH, WA FIL AKHIROTI KHASANATAW WA QINA ADZABBANNAR, SUBKHANAKA ROBBIKA ROBBIL ‘IZZATI ‘AMMA YASHIFUUN WA SALAMUN ‘ALAL MURSALIINA. WAL HAMDULILLAHIR ROBBIL ‘AALAMIIN.

Para Wali Melindungi dan Mengawasi Setiap Orang


Untuk melindungi mahluk-Nya dari masalah, Allah SWT mengutus para nabi untuk membawa orang-orang itu dibawah sayap-sayap mereka. Dan setelah Nabi Muhammad SAW, tidak ada lagi nabi. Dia adalah Nabi Terakhir. Dia memberikan kekuatan itu sebagai warisan kepada para wali; karenanya, walaupun kita hidup di suatu masa dimana tidak ada seorang nabi baru yang dilahirkan, para wali dilahirkan untuk melanjutkan ajaran para nabi.

Ada wali-wali atau orang-orang saleh untuk orang Islam, dan ada juga orang suci untuk orang non Islam. Jangan pernah berpikir bahwa Allah akan meninggalkan orang-orang non Islam. Jangan! Semoga Allah mengampuni kita. Ini tidak mungkin. Allah yang Maha Besar tidak akan mengijinkan. Allah memberi perintah dan ijin kepada Sayyidina Muhammad SAW, yang mewariskan statusnya sebagai pelindung kepada wali-wali tingkat tinggi, untuk membawa kedua-duanya, orang-orang Islam dan masyarakat non Islam dibawah sayap mereka.

Jika kalian pergi kesuatu samudera atau suatu kolam renang, dan kalian mempunyai seorang anak yang tidak mengetahui caranya berenang, akankah kalian menyuruhnya berdiri lalu mendorongnya kedalam air, dan mengatakan kepadanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri? Bagaimana dia akan menyelamatkan diri? Dia akan tenggelam. Kita semua adalah anak-anak dihadapan Kebesaran Allah. Jadi, apakah kalian berpikir bahwa Allah akan meletakan kita didepan lautan atau kolam renang, mendorong kita kedalamnya, dan berkata, “Oh! Kamu harus menyelamatkan dirimu sendiri!”

Bagaimana kita bisa menyelamatkan diri kita? Keinginan jelek dari ego selalu menyerang kita. Setan juga menyerang kita. Bagaimana kita bisa menyelamatkan diri? Karena itulah mengapa Allah mengirimkan utusan-Nya, untuk mengajari kita bagaimana menyelamatkan diri. Dan jika kita tidak mampu menyelamatkan diri, apa yang akan mereka lakukan ketika seseorang terjatuh kedalam lautan atau kolam renang, apakah membiarkan orang itu berjuang sendiri dan tidak ada seorangpun datang menyelamatkannya? Apa yang akan terjadi?

Ketika paramedis datang apa yang mereka lakukan? Mereka menariknya keluar dan melakukan CPR. Mereka memberinya nafas buatan dan mengeluarkan air dari paru-parunya. Apakah kalian pikir para wali tidak dapat melakukan hal seperti itu, untuk orang-orang beriman dan orang-orang yang tidak beriman? Kalian pikir mereka tidak mengawasi orang-orang dan menyelamatkan mereka.

Semua orang di bumi ini diawasi atau dimonitor – jika hari ini semua orang diawasi oleh tehnologi modern, lalu apakah kalian pikir Tuhan tidak sedang mengawasi kita dan memberi kuasa kepada Rasulullah SAW, dan dari Rasulullah SAW kepada para wali untuk menyelamatkan orang? Untuk melakukan CPR terhadap mereka ketika perlu, atau membuat kejutan elektrik pada jantung mereka untuk menyadarkan mereka dan membuat mereka kembali sadar?

Pengawasan dan penyadaran itu pasti terjadi. Tetapi kita seperti orang-orang yang dibius, tidak sadar akan apa yang sedang dilakukan para wali pada hati kita. Mereka bekerja siang dan malam pada layar besar itu. Setiap rombongan ada disana. Setiap manusia ada dilayar itu. Kemudian, alat pencatat tingkah laku setiap orang muncul. Siapa yang diatas, siapa yang dibawah?

Dari hari pertama hingga hari terakhir kehidupanmu, mereka memeriksa tabel kalian! Apakah tabel itu sedang naik, sedang menurun atau melompat naik dan turun. Tanggung jawab untuk mengawasi diberikan kepada Nabi SAW, yang meminta beberapa penolong. Maka Allah SWT memberinya para penolong dan ahli waris untuk rahasia itu – Para Sahabat, lalu para wali, dan kemudian kepada murid-murid mereka.1

Saat ini, kalian akan menemui banyak orang yang akan berkata, “Aku milik syaikh ini atau syaikh itu atau syaikh itu.” Baiklah, untuk mengatakan hal seperti itu, tetapi mungkin syaikh itu tidak membawa rahasia. Rahasia tidaklah sederhana, dan tidaklah mudah. Ada banyak syaikh saat ini yang mengakui bahwa mereka memiliki kuasa, lalu para pengikut mereka tersesat. Ini adalah pemberian dan tanggung jawab yang mengagumkan, memiliki kekuatan dari Nabi SAW untuk mengawasi atau memonitor layar besar itu, untuk setiap orang yang telah ditentukan untukmu sebagai pengikut – untuk melihat apa yang dia lakukan setiap hari, dan mencoba untuk menjaganya tetap berada digaris kemenangan, bukan garis kegagalan. Ini merupakan sebuah tugas besar bagi seorang syaikh untuk memelihara para pengikutnya.

Grandsyaikh berkata bahwa tubuh manusia mempunyai 366 titik tekanan. Ketika murid-murid mereka membutuhkan pertolongan atau penyembuhan, dan ketika mereka diberikan ijin. Ini berlaku terutama pada Naqshbandi, yang tidak selalu menunjukan keajaiban kecuali dengan cara tersembunyi. Para wali bisa dengan mudah menekan titik-titik dan mengirimkan energi dari tangan mereka. Ini akan mengirim energi dan menghidupkan serta meremajakan lagi seluruh organ yang sakit, dengan tujuan agar organ itu bisa bergerak dan berfungsi secara normal. Aku akan mendiskusikan poin-poin ini secara lebih rinci nanti.

Sebagai malaikat-malaikat yang bertanggung jawab untuk para pengikut mereka, para wali diberikan ijin oleh Nabi SAW untuk melihat dan mengawasi para pengikut mereka pada layar besar ini. Setiap pengikut mempunyai layar seperti itu, dan setiap orang dari mereka seperti sebuah pabrik atau perusahaan lengkap yang naik dan turun. Masing-masing tindakan individu akan ditempatkan pada layar itu setiap hari. Dan syaikh mengawasinya. Karena syaikh mengawasi kegiatan harian mereka – dia mungkin akan campur tangan ketika melihat sesuatu yang salah – memotivasi murid untuk kembali kepada kebenaran.

Syaikh bisa menciptakan sebuah perjuangan atau konflik untuk muridnya di kehidupannya, dan kemudian mengawasinya untuk melihat apakah dia marah atau tidak. Jika kalian tidak marah dan sabar, dengan segera mereka bisa tidak memperhatikan tindakan tidak baikmu; lalu tabelmu akan naik lebih tinggi – petunjuk akan muncul kembali.

Wa min Allah at Tawfiq

AS-SAB'UL MATSANY & 4 WALI QUTB


Suatu ketika Rasulullah saw. mengadu kepada Tuhan: “Aku akan meninggalkan dunia ini, Aku akan meninggalkan umatku. Siapakah yang akan menuntun mereka setelahku? Bagaimana nasib mereka sesudahku?”, Allah lalu menurunkan firman-Nya :

" وآتيناك سبعا من المثاني والقرآن العظيم "

Jangan khawatir, Aku telah mengaruniakanmu Assab’ul-matsani dan al-Qur’an yang agung. Dengan keduanya maka umat islam sesudahmu akan selamat dari kesesatan (bila mereka berpegang kepadanya).

Assab’ul-matsani dan al-Qur’an, dua pegangan yang menyelamatkan kita dari kesesatan, dua perkara yang telah membuat Rasul tenang meninggalkan umat. Apakah Assab’ul-matsani itu? dan apakah al-Qur’an itu? Mungkin semua kita tahu apa itu al-Qur’an, sebuah kitab suci yang mengandung tuntunan-tuntunan Tuhan kepada para hamba-Nya, yang tentunya bila diamalkan dengan baik maka selamatlah kita.

Namun tentunya Qur’an saja tidak akan cukup? Lalu bagaimana dengan Assab’ul-matsani? apakah semua kita mengetahuinya? dan sudahkah kita mengamalkannya atau berpegang kepadanya? Dan mengapa Assab’ul-matsani menempati posisi pertama sebelum al-Qur’an? sedikit tidak itu menunjukkan bahwa Assab’ul-matsani merupakan pegangan yang sangat urgen, yang tanpanya keisalaman seseorang menjadi samar dan diragukan.

Ironinya, para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan firman-Nya “Sab’an minal-matsani”. Ada yang mengatakan bahwa Assab’ul-matsani itu adalah surat Fatihah dengan alasan karena surat Fatihah adalah induknya al-Qur’an dan secara kebetulan jumlah ayatnya pun tujuh ayat.
Ada pula yang menafsirkannya dengan tujuh surat terpanjang dalam al-Qur’an, yaitu: Surat-surat Baqarah, Ali Imran. Annisa’, al-Ma’idah, al-An’am, al-A’raf dan al-Anfal (bersama Attaubah).

Ada yang berpendapat bahwa Assab’ul-matsani adalah al-Qur’an itu sendiri.

Dan masih banyak lagi penafsiran lain tentang apa itu Assab’ul-matsani. Sebagaimana mereka juga berbeda pendapat tentang; kapan malam Lailatul-qadr, apa itu Ism a’zam, apa itu Shalat wustha, kapan waktunya Sa’atul-ijabah, siapa itu wali Allah, apa itu Kaba’ir, dan lain sebagainya. Agaknya para ulama’ memang tak pernah lepas dari perbedaan. Apapun sebabnya, kita tetap meyakini adanya hikmah yang tersirat. Dan apapun faktanya, kita tetap harus mencari yang benar lalu menerimanya dan juga membelanya. Yang salah, kita maafkan bersama, mungkin saja bukan rizki mereka. Yang berijtihad dengan baik dan benar, tetap akan dapat pahala. Sementara mereka yang menjadikan hawa nafsu sebagai alat penafsir utama, tanpa landasan ilahi yang bisa diterima “Wa man lam yaj’alillahu lahu nuran fama lahu min nur”, maka laknat sudah menyelimuti mereka. Belum mendapat nur dan restu dari Allah, sudah seenak-enaknya menafsirkan firman Allah.

Bila kita teliti dengan seksama, kita akan melihat sejumlah penafsiran di atas ternyata belum mampu memberikan sebuah kepuasan, sebab walau tampak berbeda namun sebetulnya sama dan tak berbeda, semuanya menisbatkan Assab’ul-matsani itu kepada al-Qur’an itu sendiri, baik itu surat Fatihah, tujuh surat terpanjang maupun yang lainnya, semua itu adalah al-Qur’an (bagian dari al-Qur’an). Sebuah tanda tanya yang harus terungkap adalah: Bukankah Allah swt. telah menyebutkan “Aku telah mengaruniakanmu Assab’ul-matsani dan al-Qur’an yang agung”? bila Allah telah menyebut al-Qur’an setelah Assab’ul-matsani maka sudah tentu Assab’ul-matsani adalah perkara lain selain al-Qur’an. Tidakkah kita menyadari hal itu?

Bila Assab’ul-matsani adalah surat Fatihah, bukankah surat Fatihah merupakan bagian dari al-Qur’an itu sendiri? bukankah Allah telah menyebut al-Qur’an sesudahnya “wal-Qur’an al-azim”? yang mana surat Fatihah sudah terkandung di dalamnya? Ataukah surat Fatihah itu bukan bagian dari al-Qur’an?
Apabila Assab’ul-matsani itu adalah al-Qur’an atau sebagian dari isi al-Qur’an, tidakkah cukup Allah mengatakan: Aku telah memberimu al-Qur’an (saja, tanpa menyebut Assab’ul-matsani)? bukankah al-Qur’an telah mencakup semua surat-suratnya termasuk Fatihah dan tujuh surat terpanjang?

Lalu mengapa Assab’ul-matsani disebutkan oleh Allah? Walhasil, Assab’ul-matsani adalah perakra lain selain al-Qur’an. Bukan al-Qur’an, bukan pula beberapa surat atau ayatnya. Kalau anda masih bersikeras mengatakan Assab’ul-matsani itu adalah surat Fatihah, maka anda telah berani memisahkannya dari al-Qur’an! dan anda telah menodai kemukjizatan firman-Nya yang terlepas dari segala kecacatan, bahasa dan sastranya.

“Sab’an minal-matsani” terdiri dari tiga kata; Sab’an, Min dan al-Matsani. Sab’an berarti tujuh. Min berarti dari. Sementara al-Matsani adalah bentuk jama’ dari Matsna yang artinya dua-dua. Dengan demikian maka Matsani berarti empat-empat (berkelompok-kelompok, setiap kelompok terdiri dari empat).

Kelompok-kelompok itu amat banyak, namun Allah hanya menyebutkan / mengutus tujuh kelompok saja dari kelompok-kelompok itu (sebagai pemimpin matsani yang lain) “Sab’an minal-matsani”; Tujuh kelompok dari kelompok-kelompok al-Matsani.

Tujuh kelompok itulah yang disebut dan dimaksud dengan Assab’ul-matsani, yang mana setiap kelompok terdiri dari empat orang.

Tujuh kelompok itulah yang bertugas melayani Rasul dan umat sejak awal penciptaan sampai kiamat menjelang.

Tujuh kelompok itulah yang akan menunjuki umat ke jalan yang benar.

Tujuh kelompok itulah yang akan membimbing umat dalam mengamalkan al-Qur’an.

Tujuh kelompok itulah yang akan meneruskan dan mewarisi perjuangan Rasul saw.

Tujuh kelompok itulah yang akan melayani sandal Rasul saw. demi menjunjung tinggi siyadah beliau.

Tujuh kelompok itulah yang bila diikuti, dipegang dan ditaati umat maka selamatlah mereka dari kesesatan.

Tujuh kelompok itulah pelayan-pelayan Rasul dan umat sampai hari kiamat (maupun sesudahnya).

Allah berfirman: “Wa atainaka sab’an minal-matsani wal-Qur’anal-azim”; Aku telah mengutus demi kamu hai Muhammad tujuh kelompok matsani yang akan melayanimu dan melayani umatmu, Akupun telah menurunkan al-Qur’an agar menjadi pegangan kedua bagi umatmu.

Mengapa al-Qur’an dinomorduakan oleh Allah swt.? Jawabannya adalah karena seorang penunjuk lebih diutamakan dari pada sebuah buku petunjuk. Allah swt. berfirman:
" قد جاءكم من الله نور وكتاب مبين "

Telah datang kepadamu: (1) seorang Rasul, dan (2) al-Qur’an. Maka Rasul itu lebih penting dari pada al-Qur’an, sebab al-Qur’an (buku petunjuk) tidak akan difahami dengan benar tanpa Rasul (seorang penunjuk).

Allah swt. juga berfirman:

" فالذين آمنوا به وعزروه ونصروه واتبعوا النور الذي أنزل معه أولئك هم المفلحون "

Orang-orang yang beruntung adalah apabila mereka: (1) beriman kepada Nabi Muhammad, (2) memuliakannya (3) membelanya, kemudian (4) mengikuti kitab suci yang dibawanya. Maka haruslah kita mencari seorang penunjuk, kemudian mencintainya, menghormatinya, membelanya, mengagung-agungkannya dan mentaatinya, setelah itu barulah kita mengikuti buku petunjuk yang ia bawa.

Dari itulah Allah swt. mendahulukan Assab’ul-matsani sebelum al-Qur’an. Bukan karena al-Qur’an itu tidak penting, melainkan karena tanpa seorang penerang dan penunjuk maka al-Qur’an tak dapat difahami dengan benar dan tak dapat diamalkan dengan baik.

Lalu… siapakah Assab’ul-matsani itu? siapa saja kelompok-kelompok itu?

Maulana Syekh Mukhtar ra. menyebutkan bahwasanya tujuh kelompok (Assab’ul-matsani) tersebut adalah sebagai berikut :

1. Empat pemimpin para mala’ikat Kurubiyyin / Alin / Haffin hawlal-arsy.

2. Empat pemimpin para mala’ikat Falakiyyin : Jibril, Mika’il, Israfil dan Izra’il Alaihimussalam.

3. Empat pemimpin para nabi dan rasul yang disebut dengan Ulul-azmi : Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa Alaihimussalam.

4. Empat Pemimpin para sahabat Rasul yang disebut dengan Khulafa’ rasyidin : Saidina Abu Bakr, Saidina Umar bin Khaththab, Saidina Utsman bin Affan dan Saidina Ali bin Abi Thalib Radliallahu anhum ajma’in.

5. Empat pemimpin para penulis wahyu (al-Qur’an) yang disebut dengan al-Abadilah / Abadilatul-Qur’an : Saidina Abdullah bin Umar, Saidina Abdullah bin Azzubair, Saidina Abdullah bin Mas’ud dan Sadina Abdullah bin Abbas Radliallahu anhum ajma’in.

6. Empat pemimpin para imam syari’at (mazhab fiqh) yang disebut dengan al-A’immah al-Arba’ah / A’immatul-mazahibil-arba’ah : Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asysyafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal Radliallahu anhum ajma’in.

7. Empat pemimpin para imam tarekat (tasawuf), pemimpin para auliya’ullah yang disebut dengan al-Aqthab al-Arba’ah (empat wali kutub) / A’immatuththariqah wal-haqiqah : Syekh Ahmad Arrifa’i, Syekh Abdul-Qadir al-Jailani, Syekh Ahmad al-Badawi dan Syekh Ibrahim Addusuqi Radliallahu anhum ajma’in.

Tujuh kelompok di atas-lah Assab’ul-matsani itu, yang memimpin semua matsani yang lain, yang semuanya berjumlah 28 orang sebanyak huruf-huruf dalam bahasa arab.

Ketujuh kelompok itu dipimpin oleh tiga penguasa tertinggi yaitu: Imam al-Hasan, Imam al-Husain dan Imam al-Mahdi Radliallahu anhum.

Allah swt. berfirman: “Ha Mim, Ain Sin Qaf”. Ha Mim telah diulang dalam al-Qur’an sebanyak tujuh kali yang mana hal tersebut mengisyaratkan kepada Assab’ul-matsani di atas, sedangkan Ain Sin Qaf hanya disebut satu kali saja dalam al-Qur’an, yang mana ketiga huruf itu mengisyaratkan kepada tiga pemimpin Assab’ul-matsani (Imam al-Hasan, Imam al-Husain dan Imam al-Mahdi Radiallahu anhum ajma’in).

Sementara pemimpin tertinggi (Ra’is Akbar) yang mengepalai dan mengasuh mereka semua adalah: Rasulullah wa Habibullah Sayyiduna wa Maulana Muhamamd Shallallahu alaihi wa sallam.

Dalam sebuah hadits Rasul menyebutkan bahwa Assab’ul-matsani itu adalah surat Fatihah. Itu benar, namun yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah bahwasanya Assab’ul-matsani (tujuh kelompok) itu telah diisyaratkan oleh salah satu ayat dalam surat Fatihah, tepatnya pada firman-Nya :

" اهدنا الصراط المستقيم صراط الذين أنعمت عليهم "

Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau karuniai nikmat. Mereka itulah Assba’ul-matsani, sebagaimana firman Allah :

" الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقا "

Orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah adalah: Para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang shalih, mereka itulah sebaik-baik teman. Mereka itulah Assab’ul-matsani.

Di antara makna lain dari kata Matsani adalah : bentuk jama’ dari Matsniyyah yang artinya: besi yang dibengkokkan. Itu mengisyaratkan bahwa Assab’ul-matsani adalah orang-orang atau kelompok-kelompok yang telah sampai kepada Allah swt. lalu dikembalikan oleh-Nya ke bumi untuk membimbing umat kepada-Nya.

Kata Matsani juga berasal kata dari Tsana’ yang artinya pujian, tentunya tujuh kelompok di atas telah mendapat pujian suci dari Tuhan mereka, Allah Subhanahu wata’ala.

Di antara tujuh kelompok di atas, nampaknya kelompok terakhir-lah yang cukup asing bagi umat. Para mala’ikat kurubyyin, mala’ikat falakiyyin, nabi ulul-azmi, khulafa’ rasyidin, empat abadilah dan imam mazhab empat… sudah cukup populer. Sedangkan empat wali kutub tertinggi yang mengepalai semua auliya’ Allah di muka bumi ini dan mengimami tarekat dan hakekat sampai muncul Imam al-Mahdi, tidak begitu banyak diketahui atau dikenal orang. Mungkin saja karena salah satu ciri khas para wali adalah: tersembunyi. Namun walau demikian mereka cukup masyhur di kalangan orang-orang yang telah mendapatkan petunjuk Allah, yakni mereka para pecinta tasawuf dan pengikut tarekat. Mereka adalah pecinta Rasul dan Ahlul-bait.

Oleh karena itu, dalam hal ini penulis ingin mengutip perkataan Syekh Abul-Huda Ashshayyadi ra. dalam kitabnya Qiladatul-Jawahir yang berbunyi sebagai berikut :

قد اشتهر في المشرق والمغرب بين المسلمين شأن الأربعة الأقطاب المعظمين، أعني شيخنا ومفزعنا السيد أحمد الكبير الحسيني الرفاعي، وسيدنا السيد الشيخ عبد القادر الجيلاني الحسني، وسيدنا السيد الشيخ أحمد البدوي الحسيني، وسيدنا السيد الشيخ إبراهيم الدسوقي الحسيني . فهؤلاء الأربعة بلا ريب خلاصة بقية السلف، وأئمة جميع الخلف، وأعلام الأولياء، وأولياء الصلحاء، وأشياخ الخرقة والطريقة، وأقطاب الطريقة والحقيقة . ثبتت لدى المسلمين غوثيتهم وولايتهم، ووجبت عند الموحدين حرمتهم ورعايتهم، وهم رضي الله عنهم بمنزلة واحدة في النسب والمرتبة، إلا أن الأقوال تنوعت فيهم وفي مشاربهم وأحوالهم ومذاهبهم، وقد وفق الله لكل واحد منهم من أتباعه من جمع آثاره وذكر أخلاقه وأطواره

Beliau juga telah membuat sebuah nazam (sya’ir) tentang empat wali kutub, bunyinya :

والأوليا اذكرهم بخير أنهم # تبعوا الرسول بصحبة الآدابِ
خدموا شريعته وما اتبعوا الهوى # متمسكين بأشرف الأسبابِ
صحت ولايتهم بشاهد حالهم # فعلوا وصاروا وجهة الطلابِ
لهم الكرامات التي ظهرت بنا # كالشمس ما حجبت ببرد سحابِ
شهدت بها مذ شوهدت أهل الملا # وهي اختصاص الواهب السلابِ
ظهروا ببرهان الرسول تسلسلا # حتى لعهد الأربع الأقطابِ
ابن الرفاعي ثم عبد القادر الـ # ـجبلي وإبراهيم والعطابِ
قال الرفاعيون أحمد شيخنا # سلك الطريق بدق أنجح بابِ
ورأى الخضوع طريقة وحقيقة # تقضي بترك الزهور والإعجابِ
وسرى على سنن الحبيب ملازما # أحواله في السلب والإيجابِ
فلذاك قدمناه تقديما به # قام الدليل لنا بلا إسهابِ
والقادرية ثم فرقة أحمد آل # بدوي كل قال ذاك جوابِي
وكذاك أتباع الدسوقي ثم من # ينمى لغير طريقة ورحابِ
جزموا بصدق الأتباع لشيخهم # فراوه أعلا الأوليا الأنجابِ
فإذا توضحت الحقائق للذي # يدري بغير مسائل وجوابِ
ما كان من قول وفعل وارد # عن شيخ إرشاد رفيع جنابِ
زنه بميزان الشريعة واعتمد # في الأمر نص المصطفى الأوابِ
واعمل لحسن الظن بالتأويل في # ما دق من شطح لسد البابِ
وإذا نأى التأويل فانكر نسبة الـ # ـمنقول واحفظ حرمة الأحبابِ
واسلك طريق الهاشمي محمد # فسواه مردود بكل كتابِ
صلى عليه الله ما لمع الضحى # والآل والأزواج والأصحابِ

Masing-masing dari empat wali kutub itu mendirikan sebuah tarekat ra’isi (induk) yang memimpin semua tarekat sufi yang lain, Syekh Ahmad Arrifa’i ra. mendirikan Tarekat Rifa’iah, Syekh Abdul-Qadir al-Jailani ra. mendirikan Tarekat Qadiriah, Syekh Ahmad al-Badawi ra. mendirikan Tarekat Ahmadiah, dan Syekh Ibrahim Addusuqi ra. mendirikan Tarekat Burhamiah. Empat tarekat sufi tersebut lahir dari dua tarekat ibu-bapak yakni Tarekat Naqsyabandiah dan Tarekat Khalwatiah. Kedua tarekat ibu-bapak itu bersumber dari Saidina Abu Bakr ra. dan Saidina Ali ra. yang kemudian digabung oleh Imam al-Junaid ra. lalu bercabang lagi menjadi empat tarekat induk yang dipimpin oleh empat wali kutub. Pada zaman sekarang ini semua tarekat sufi yang ada mesti melalui salah satu dari empat wali kutub atau semuanya dalam silsilah terekat masing-masing, kalau tidak, maka tarekat tersebut masih diragukan keabsahannya.

Untuk mengenal lebih jauh empat wali kutub masyhur di atas maka pembaca boleh menelaah kitab-kitab di bawah ini :

1. Qiladatul-Jawahir fi Dzikril-Gautsirrifa'i wa Atba'ihil-Akabir oleh Syekh Abul-Huda Ashshayyadi ra.

2. Al-Ayatuzzahirah fi Manaqibil-Auliya' wal-Aqthabil-Arba'ah oleh Syekh Mahmud al-Ghirbawi.

3. Farhatul-Ahbab fi Akhbaril-Arba'atil-Aqthab oleh Syekh Muhammad bin Hasan al-Khalidi ra.
4. dan lain-lain.

Berbicara so’al tugas para wali kutub tertinggi itu, kita dapat melihat peran-peran para imam mazhab yang empat dalam membimbing umat dalam hal syari’at. Oleh karena islam terdiri dari tiga martabat; islam, iman dan ihsan, maka para imam mazhab bertugas untuk memperbaharui dan mempermudah urusan syari’at umat (islam) yang kemudian para wali kutub bertugas untuk memperbaharui dan mempermudah perjalanan spiritual / tarekat umat (iman), yang akhirnya dengan kemantapan dua martabat itu hamba dengan mudah mencapai hakekat (ihsan). Syari’at dan tarekat tidaklah berbeda atau saling bertentangan, melainkan ia merupakan tangga-tangga yang harus dilalui oleh setiap hamba secara bertahap demi meraih derajat yang mulia di sisi Allah dan demi sebuah kesempurnaan dalam pengabdian kepada-Nya (kamalul-iman). Keislaman seseorang tentu menjadi tidak sempurna bila dijalani tanpa dua asas tersebut. Bermazhab untuk kesempurnaan zahir dan bertarekat untuk kesempurnaan batin.

Sebagaimana seorang hamba layaknya bermazhab (bermazhabkan salah satu dari mazhab fiqh yang empat), maka di sisi lain ia juga mesti bertarekat, dengan mengikuti / menganut salah satu tarekat dari empat tarekat sufi di atas. Atau mengikuti tarekat lain yang menjadi cabang dari salah satu tarekat induk tersebut.

Bila keluar dari mazhab yang empat dalam bersyari’at, dan keluar dari tarekat induk yang empat dalam bertarekat, maka tidak akan diterima oleh-Nya. Pintu ijtihad mutlak sudah tertutup, dan izin untuk mendirikan tarekat (induk) sudah berakhir.

Apakah Rasul pernah bermazhab? Apakah Rasul pernah bertarekat? Tentu tidak, sebab beliau merupakan sumber dan asal semua mazhab dan tarekat yang ada. Tidaklah mungkin seorang Rasul menganut mazhab muridnya, tidaklah mungkin beliau mengikuti tarekat pewarisnya. Justru para imam dan wali kutub-lah yang mengikuti beliau dan melalui tuntunan dan restu beliaulah mereka membuat mazhab dan tarekat agar diikuti oleh umat sesudahnya.

Dari itu penulis menasehati mereka yang mengatakan; Tidak ada mazhab dalam islam. Ketahuilah bahwa empat mazhab dan empat tarekat itu telah direstui dan diutus oleh Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu kala demi kemudahan umat dalam menjalankan syari’at-Nya. Tanpa mereka, semuanya tidak akan pernah stabil. Ingin membuat mazhab sendiri atau tarekat sendiri, ingin menjalankan syari’at islam tanpa melalui mereka, ingin bersuluk menuju Allah tenpa melalui jalan mereka, ingin kembali langsung kepada Qur’an dan Sunnah tanpa melalui hasil ijtihad mereka, maka dijamin tidak akan menghasilkan buah yang memuaskan. Bukankah kita sendiri yang selalu berdo’a; “Ihdinashshirathal-mustaqim, shirathalladzina an’amta alaihim” Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan mereka yang Engkau karuniai nikmat (para nabi, para rasul, para sahabat, para imam mazhab dan para wali kutub)?

Sebagaimana Rasul telah mengutus Saidina Mu’az bin Jabal ra. ke Yaman sebagai makan (tempat) untuk menjadi penunjuk jalan / membawa hidayah, maka beliau-pun mengutus seorang hadi (penunjuk jalan) pada setiap zaman (waktu) sesuadah beliau wafat? agar umat beliau dapat menemukan hidayah-Nya… kapanpun, dan dimanapun.
Allah berfirman:

" من يهد الله فهو المهتد ومن يضلل فلن تجد له وليا مرشدا "
Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk, dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu hai Muhammad tak akan mampu mempertemukannya dengan seorang wali mursyid (seorang penunjuk).
Tanpa seorang wali mursyid maka tenggelamlah hamba dalam lautan kesesatan. Qur’an dan Sunnah tidak akan pernah cukup tanpa seorang wali mursyid yang akan menuntun dan membimbing. Melalui restu dan petunjuk Allah maka Rasul-pun segera mempertemukan kita dengan wali mursyid yang menjadi pewarisnya, semoga Allah memberi hidayah kepada kita… amin.
Dengan niat yang suci, hati yang bersih dari segala sifat sombong dan angkuh, serta cinta yang mendalam kepada Rasul dan para auliya’ maka perjalanan menuju wali mursyid tidaklah jauh, sehingga hidayah Allah dapat kita nikmati dengan penuh ria.
Setelah empat wali kutub itu mendirikan tarekat induk masing-masing dan menanam bibit-bibit hidayah dan mahabbah dalam hati para pengikut setia, maka ajal-pun tak lupa menjemput mereka ke Rafiq A’la, yang kemudian muncullah para penerus-penerus sejati yang akan terus membimbing umat ke jalan-Nya, jalan penuh reda dan cinta. Para penerus sejati itulah para imam mujaddid setiap zaman, mereka adalah Auliya’ Mursyidun dan Ulama’ yang menjadi pewaris-pewaris Rasul, yang amat takut kepada Allah dan tahu rahasia-rahasia asma’ Allah.
Akhir kata… Disamping mengikuti tuntunan Qur’an dan Sunnah, semoga kita tidak lupa pula mengikuti dan berpegang teguh kepada Assab’ul-matsani (beserta para penerus) yang telah diutus oleh-Nya. Semoga kita tetap berlindung di bawah naungan mereka, agar selamat dari dunia sampai akhir masa… amin.

Mengikuti mereka adalah merupakan tuntutan Allah dalam Qur’an-Nya kepada kita, dan juga merupakan seruan Rasul dalam haditsnya “Udldlu alaiha binnawajiz”. Mereka adalah utusan-utusan-Nya, mereka adalah kekasih-kekasih-Nya, mereka adalah prantara-prantara kita menuju-Nya, mereka adalah pewaris-pewaris Rasul-Nya, dan mereka adalah para pembaharu dan imam masa.
Inilah suguhan ilmu para Auliya’-Nya…. yang diraih langsung dari-Nya… Subhanahu wa t’ala. Percaya atau tidak, diterima atau tidak, Allah telah berfirman :

" وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر "
Katakanlah yang benar, yang telah kamu terima dari Tuhanmu. Selanjutnya………………………………… terserah mereka!

Referensi :

1. Pengajian-pengajian Maulana Syekh Mukhtar ra. (Syekh Tarekat Burhamiah)

2. Kitab Tabri’atuzzimmah oleh Syekh Muhammad Utsman Abduh al-Burhani ra.

3. Kitab Qiladatul-Jawahir oleh Syekh Abul-Huda Ashshayyadi al-Khalidi Arrifa’i ra.

Amalan-Amalan Sufistik pada Diri Rasulullah Saw



Sebagaimana diketahui, junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. hidup di Semenanjung Arabia sebagai Nabi dan Rasul yang diutus Allah swt kepada segenap ummat manusia untuk memperkokoh kebe­naran agama yang telah dibawakan oleh para Nabi dan Rasul terdahulu. Kepada ummat manusia beliau mengingatkan akan tanggungjawab me­reka kepada Allah Al-Khaliq sebagaimana yang dahulu telah di­ingatkan pula oleh para Nabi dan Rasul kepada ummatnya masing­masing. Beliau menjelaskan bahwa dirinya adalah Nabi terakhir dari serangkaian para Nabi yang datang berturut-turut dalam berbagai za­man sebelumnya. Kecuali itu beliau memperkenalkan diri beliau seba­gai manusia yang lain. Bedanya dari yang lain ialah karena Allah swt, mengamanatkan kepada beliau – melalui,wahyu – menyampaikan tugas Risalah kepada semua manusia agar mereka mengenal jatidirinya (iden­titasnya) sebagai makhluk ciptaan Allah. Beliau memberitahu letak alam kehidupan dunia ini di tengah alam malakut kekuasaan-Nya. Setiap manusia, mau atau tidak mau, pasti akan menemukan nasib­nya sesudah mati. Beliau mengingatkan manusia supaya berperilaku baik di dalam kehidupan dunia ini sesuai dengan kedudukannya sebagai hamba Allah yang wajib bersembah sujud hanya kepada-Nya. Beliau pun menegaskan bahwa dirinya tidak berhak menambah, mengurangi atau mengganti cakupan tugas Risalah yang dibebankan Allah kepada­nya sebagai amanat yang harus disampaikan kepada seluruh ummat manusia. Dengan tegas beliau mengatakan, bahwa Allah menetapkan semuanya itu melalui firman-Nya[2]:
Seandainya Dia (Muhammad) Mengadakan sebagian Perkataan atas (nama) Kami  niscaya benar-benar Kami pegang Dia pada tangan kanannya kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi”. (QS. Al-Haaqqah;44-47)
Selama hidup beliau tidak pernah samasekali melakukan suatu tindakan untuk kepentingan pribadi. Sejarah kehidupan beliau tidak dapat dimanipulasi oleh penulis manapun juga, karena terkontrol oleh nas-nas A1-Qur’an dan dokumen-dokumen sejarah yang otentik, yaitu catatan riwayat dan Hadits-hadits. Semuanya dengan cermat melukiskan da’wah Risalah nya, kesempurnaan jasmani dan rohaninya serta kesempurnaan akhlak dan akal budinya. Betapa pun pandainya seorang penulis menuangkan hal-hal itu dalam lembaran-lembaran buku, tidak mungkin ia dapat mengutarakan seluruh segi kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. yang serba sempurna itu.[3] Dengan indah Allah swt melukiskan kesempurna­an Rasul-Nya di dalam A1 – Qur’an:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab : 21)
Kebesaran dan keagungan junjungan kita Nabi Besar Muhammad s.a.w. bukan disebabkan oleh lingkungan kabilahnya, bukan kare­na kedudukan sosialnya di kalangan masyarakat dan bukan pula discebabkan oleh harta kekayaannya; melainkan oleh keluhuran dan kesempurnaan semua segi pribadinya sebagai Nabi dan Rasul yang hidup dan matinya diabdikan hanya kepada kebenaran Allah semata-mata. Beliau adalah seorang Nabi dan Rasul yang diutus Allah swt dalam zaman fatrah,[4] di kala kesesatan dan kedzaliman merajalela karena manusia yang pernah dibawakan oleh para Nabi dan Rasul terdahulu. Beliau datang sebagai Nabi dan Rasul terakhir, melengkapi dan menyempurnakan ajaran-ajaran agama Allah yang telah disampaikan oleh para Nabi dan Rasul mulai dari Nabi Adam a.s. hingga Nabi ‘Isa a.s. Dengan demikian maka lengkap dan sempurnalah agama yang dibawakan oleh Nabi Muharnmad s.a.w. Setelah kedatangan Islam tidak ada lagi Nabi atau Rasul yang bakal datang membawakan agama baru. Sesuatu yang lengkap dan sempurna tidak membutuhkan pembaharuan, yang membutuhkan pembaharuan adalah fikiran ummat manusia.[5] Mereka harus sanggup meninggalkan kekolotan jahiliyah dan menyelaraskan fikiran dan perasaannya dengan ajaran Ilahi yang sempurna itu. Menge­nai soal itu Allah swt telah berfirman
“Pada hari ini telah Kusempurnakan agama kalian, telah kucu­kupkan nikmat karunia-Ku kepada kalian dan telah Kuridhai Islam menjadi agama kalian” (QS. AI-Ma’idah : 3).
Firman-firman Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. sebagai termaktub dalam A1 – Qur’anul-Karim adalah Iengkap dan sempurna, terjamin kemurniannya dan terpelihara sepanjang zaman. Mengenai itu Allah swt telah berfirman menegaskan
“Tak ada suatu apapun yang Kami alpakan di dalam Al-Qur’an” (QS.AI-An’am : 38).
“Tidak mengandung kebatilan, baik yang terang maupun yang tidak terang” (QS. Fusshilat : 92).
“Kamilah yang menurunkan AI-Qur’an dan Kamilah yang menja­ga (kemurnian dan kelestariannya)”, (QS. AI-Hijr : 9).
Agama Allah dan Kitab suci-Nya yang serba sempurna itu tidak mungkin dapat disampaikan dengan sempurna oleh pembawa tugas Risalah yang tidak sempurna. Yang dapat menunaikan tugas Risalah demikian itu pasti seorang Nabi dan Rasul pilihan Allah yang paling sempurna. Kesempurnaan Nabi Muhammad s.a.w. itulah yang menmbuat beliau sebagai manusia besar, bahkan terbesar dalam segala hal.[6]
 
Kehidupan dan Sifat-sifat Rasululullah
Menurut Husen Haikal, Rasulullah setiap bulan Ramadhan selalu, menyemdiri di gua Hera menjauhi keramaian menghindari kelezatan dan kemewahan duniawi, menghindari makan dan minum yang berlebihan serta merenungi alam semesta ini. ini dilakukan dalam rangka untuk membersihkan hati beliau yang akan mengenatarkan terhadap kenabian. Hal ini berlangsung sampai wahyu yang pertama,[7] tampak jelas khalwat yang dilakukan Muhammad bertujuan menenangkan jiwa dan membersihkan hati dalam menapaki kahidupan. Beliau mencari petunjuk untuk mencari hakikat kebenaran yang dapat mengatur segalanya dengan baik dan benar. Kehidupan Muhammad dalam gua Hera merupakan cikal bakal kehidupan sufistik yang dihayati para zahid sebagai latihan rohani untuk bermunajat kepada Allah.
Imam Al-Gazali berkata: “Manfaat awal dari khalwat adalah pemusatan diri dalam beribadah berfikir mngakrabkan diri dalam munajat kepada Allah dengan menghindari hubungan dengan makhluk dan menyibukkan diri untuk mengungkap rahasia-rahasia Allah tentang persoalan dunia sampai akhirat. Inilah yang disebut kekosongan, mengisolasi diri jelas lebih baik bagi para sufi bahkan Rasulullah saw pada permualaan kenabian beliau hidup menyendiri di gua Hera sehingga cahaya kenabian beliau menjadi kuat. Karena itu, semua makhluk tidak sanggup menghalai beliau dari Allah, sebab meskipun tubuh beliau bersama makhluk namun kalbu beliau selalu menghadap Allah.[8]
Di riwayatkan dari Aisyah Ra. Bahwa Rasulullah pertama kali mengalami mimpi adalah menerima wahyu (mimpi hakiki) yang beliau lihat lewat mimpi itu adalah cahaya kebenaran yang ia mohon setiap saat dan masih menurut Husen Haikal yang pernah dilihatnya pada saat itu, yaitu ketika beliau tahannus ialah mimpi hakiki yang memancar dari sela-sela renungannya sehingga membuat jalan yang dihadapinya menjadi terang. Tirai gulita yang menjerumuskan masyarakat Quraisy ke dalam lembah jahiliyah jadi terbuka lebar menuju masyarakat tauhid. Mengenai kehidupan Rasulullah setelah turunnya wahyu di tandai dengan sikap juhud pengendalian diri dalam makan dan minum serta amalan-amalan shaleh yang menjadi sumber utama bagi para sufi. Rasulullah saw pada priode ini selalu mewajibkan diri tetap dalam keadaan sederhana, banyak beribadah dan shalat tahajjud, keadaan ini berlangsung sampai turunnya ayat:
Artinya “ Thoha, Kami tidak menurunkan Al-Qur`an ini kepada mu agar kamu tidak menjadi susah “ (QS. Thoha: 1-2).
Kehidupan Nabi yang serba sederhana ini, adalah kehendak beliau sendiri. Dalam hal ini Husen Haikal menggambarkan:
“Kesederhanaan terhadap dunia ini bukanlah kesederhanaan demi kesederhanaan sebab dalam Al-Qur`an difirmankan “manakah diantara rizki yang baik telah kami yang telah kami berikan kepadamu” dan dalam sebuah dadit disebutkan “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan besok engkau tiada” Maksud Rasulullah memberi contoh yang baik kepada umatnya agar berkepribadian utuh tidak kenal lelah dan tidak diperbudak oleh kehidupan duniawi, kekuasaan, yang membuat kelalaian kita terhadap Allah”.[9]
Di riwayat lain, Rasulullah senantiasa mengerjakan sholat malam sehingga kedua telapak kaki beliau bengkak-bengkak. Aisyah bertanya “wahai Rasulullah megapa ini kau lakukan, bukankah Allah telah mengampuni segala dosamu, baik yang lalu maupun yang akan dating” Rasulullah menjawab tidaklah patut aku menjadi seorang hamba yang bersyukur. Diriwayat lain mengatakan senantiasa beri`tikap dimesjid pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Demikianlah ibadah Rasulullah tapi janganlah orang menyangka bahwa ia memberatkan sedemikian itu kepada orang lain. Aisyah berkata “ Banyak sekali amalan Rasulullah yang dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi karena di kuatirkan memberatkan orang lain tidak mampu mengerjakannya (dianggap wajib).
Tentang kesederhaan Rasulullah hampir semua penulis sejarah menceritakan  bagaimana sederhananya rumah tangga beliau sehari-hari. Tidak ada perabot dalam rumah tangga, bahkan sering tidak terdapat makanan, beliau sering tidur di atas sepotong tikar yang terbuat dari daun kurma sampai berbekas pada kulit beliau. Adapun makanan yang dapat dimakannya adalah sepotong kecil roti kering yang terbuat dari tepung kasar dan segelas air minum atau dua butir kurma. Itulah gambaran kesederhanaan Rasulullah saw.[10]
Imam bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah pernah mengeluh kepada keponakannya Urwah “Lihatlah Urwah kadang-kadang berhari-hari dapurku tidak menyala dan aku bingung olehnya” Apa yang engkau makan sehari-hari bibi? Aisyah menjawab: Paling untung kurma dan air kecuali jika ada tetangga Anshar mengantarkan sesuatu kepada Rasulullah barulah kami merasakan seteguk susu.[11] Rasulullah pernah menegas “Kami adalah golongan orang yang tidak makan kecuali lapar dan bila makan tidak sampai kekenyangan”.
Banyak sekali ucapan-ucapan Rasulullah yang menerangkan ajaran moral kehidupan agama yang berhubungan manusia dengan Allah dan alam semesta sebagaimana yang dijelaskan dan elaborasi oleh kaum sufi antara lain beliu bersabda: “Jauhilah kehidupan di dunia ini, niscaya Allah mencintaimu, dan jauhilah apa yang ada ditangan orang banyak noscaya orang-orang akan mencintaimu” dan beliau juga bersabda :”Jika Allah menghendaki kebaikan kepada seorang hamba, niscaya Allah membuatnya faham terhadap agama, menghindarkannya dari hal-hal keduniaan dan menunjukkan cela-celanya.
Dengan demikian apa yang diajarkan oleh kaum sufi telah diperaktikkan dan dianjurkan oleh Rasulullah berabad-abad silam. Jadi tidak benar kalau ada tuduhan bahwa tasawuf adalah pengaruh ajaran Masehi, Majusi, Hindu, Budha, dan filsafat Yunani. Dan bukan jaran Islam yang tidak bersumber dari Al-Qur`an dan al-Sunnah”.

Asal Mula Munculnya Tasawuf


Teori-teori mengenai asal mula munculnya tasawuf dalam Islam terdapat berbagai pendapat, antara lain :
  1. Pengaruh Kristen dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan tentang ralilb-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang di malam hari men­jadi penunjuk jalan bagi kafilah yang lalu, kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi musafir yang kelaparan. Dikatakan bahwa zahid dan sufi Islam mening­galkan dunia, mernilih hidup sederhana dan mengasing­kan diri, adalah atas pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen ini.
  2. Falsafat mistik Pythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Ke­senangan roh yang sebenarnya ialah di alam samawi. Untuk memperoleh hidup senang di alam samawi, manu­sia harus membersihkan roh dengan meninggalkan hidup materi, yaitu zuhud untuk selanjutnya berkon­templasi. Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi, inilah menurut pendapat se­bahagian orang, yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.
  3. Falsafat emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wu­jud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor, dan untuk dapat kembali ke tempat asalnya roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Pensucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, kalau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikata­kan pula bahwa falsafat ini mempunyai pengaruh terha­dap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.[1]
  4. Ajaran Buda dengan faham nirwananya. Untuk menca­pai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham nirwana.
  5. Ajaran-ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.
Inilah beberapa faham dan ajaran yang menurut teorinya mempengaruhi timbul dan munculnya sufisme di kalangan umat Islam. Apakah teori ini benar, atau tidak, itu sulit di­buktikan. Tetapi bagaimanapun, dengan atau tanpa pengaruh­pengaruh dari luar, sufisme bisa timbul dalam Islam.
Di dalam Al-Qur`an memang terdapat ayat-ayat yang mengata­kan bahwa manusia dekat sekali dengan Tuhan. Di antaranya:

Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku)” (QS AL-Baqarah: 186)

Zikir dalam Tarekat Qadiriyah


Da iantara praktik spiritual yang diadopsi oleh Tarekat Qadiriyah adalah zikir (terutama dalam melantunkan asma Allah berulang-ulang). Dalam pelaksanaannya terdapat berbagai tingkatan penekanan dan intensitas. Ada zikir yang terdiri atas astu, dua, tiga dan empat. Zikir dengan satu gerakan dilaksanakan dengan mengulang-ulang asma Allah melalui tarikan napas panjang yang kuat, sekan dihela dari tempt yang tinggi, diikuti penekanan dari jantung dan tenggorokan, kemudian dihentikan sehingga napas kembali normal. Hal ini harus diulang secara konsisten untuk waktu yang lama.[1]
Zikir dengan dua gerakan dilakukan dengan duduk dalam posisi sholat, kemudian melantunkan asma Allah di dada sebelah kanan, lalu di jantung, dan kesemuanya dilakukan berulang-ulang dengan intensitas tinggi. Hal ini dianggap epektif untuk meningkatkan konsentrasi dan meng-hilangkan rasa gelisah dan pikiran yang kacau. Zikir dengan tiga gerakan dilakukan dengan duduk bersila dan mengulang pembacaan asma Allah di bagian dada sebelah kanan, kemudian di sebelah kiri, dan akhirnya di jantung. Kesemuanya ini dilakukann dengan intensitas yang lebih tiggi dan pengulangan yang lebih sering. Sementara itu, zikir empat gerakan dilakukan dengan duduk bersila, dengan mengucapkan asma Allah berulang-ulang di dada sebelah kanan, kemudian di sebelah kiri, lalu ditarik ke arah jantung, dan terakhir dibaca di depan dada. Cara terakhir ini diharapkan dapat dilakukan lebih kuat dan lebih lama.
Praktik zikir ini dapat dilakukan bersama-sama, dibaca dengan suara keras atau perlahan, sambil duduk membentuk lingkaran setelah sholat, pada waktu subuh maupun malam hari. Jika seorang pengikut sanggup melantunkan asma Allah empaat ribu kali setiap harinya, tanpa putus selama dua bulan, dapat diharapakan dirinya telah memiliki kualifikasi untuk meraup pengalaman spiritual tertentu.
Setelah melakukan zikir, tarekat menganjurkan untuk melakukan apa yang disebut sebagai pas-I  anfas, yakni mengatur napas sedemikian rupa sehingga dalam proses menarik dan menghembuskan napas, asma Allah bersirkulasi  dalam tubuh secara otomatis. Kemudian, ini diikuti dengan muraqabah atau kontemplasi. Dianjurkan untuk berkonsentrasi padasejumlah ayat al-Qur’an atau punn sifat-sifat Ilahiah tertentu hingga sungguh-sungguh terserap ke dalam kontemplasi.[2]
Beberapa praktik yang dikembangkan oleh pengikut dari generasi berikutnya mengadopsi pengaruh likal dan tidak dapat dipahami dengan merujuk pada ide dan anjuran autentik sang Wali. Contohnya, para pengikut Tarekat Qadiriyyah di Afrika Utara sering disebut sebagai para gilani telah mengembangkan praktik khalwat dengan aturan-aturan yang sangat khusus. Alang-alang ditancapkan ditumpukan batu, para wanita menyampirkan kain-kain di situ, kemudian bersin dan styrax disulut. Baik pria maupun wanita melakukan jenis khalwat ini dan memohon agar keinginan mereka terpenuhi.
Seiring dengan timbulnya praktik yang tidak tepat tersebut, muncul pula pengultusan secara berlebihan di anatara kelompok-kelompok ekstrim. Untuk mempertahankan pandangannya, mereka mengulang ucapan Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani, “seluruh berada di kakiku.” Padahal kata-kata tersebut—saat diucapkan beliau merujuk pada suatu kondisi kebahagiaan spiritual  yang ekstrim, suatu ekspresi sang Syaikh, tanpa inpliksasi lainnya. Namun, para pengagumnya dikemudian hari membuat tulisan untuk membela posisinya demi memantapkan kkeunggulan posisinya di dalam heirarki spiritual. Bahkan, ulama yang sangat kritisdan berhati-hati sekalipun, semacam Syaikh ‘Abd al-Haqq Muhaddits dari Delhi, melukiskan sang Syaikh dalam nuansa yang dipinjam dari hagiologi yang dilebih-lebihkan tersebut. Kebesaran Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani tidaklah bersandar pada keajaiban yang telah dilakukannya, tetapi pada eksistensi kesadaran Ilahiah yang tumbuh dalam dirinya dan dedikasinya untuk mengagungkan mistisisme Islam yang ideal, yakni menyadari eksistensi Tuhan, menunjukan manusia pada jalan menuju-Nya, dan menghidangkan kebahagiaan bagi hati-hati yang terluka dan jiwa-jiwa yang gelisah.[3]
Zikir adalah kunci dan sekaligus menempati posisi yang amat penting dalam tradisi tarekat, termasuk Tarekat Qadiriyah kerena zikir bagaikan anak kunci yang mampu membuka pintu gerbang dunia spiritual yang tidak terbatas. Apabila pintu hati telah terbuka, muncullan dari dalamnya pikiran-pikiran yang arif untuk membuka mata hati. Ketika mata hati telah terbuka, maka tampaklah sifat-sifat Allah melalui mata hati itu. Kemudian mata hati akan melihat refleksi (bayangan) kasih sayang, kelembutan, keindahan, dan kebaikan Aallah, dalam cemin hati yang bersih dan berkilauan.[4]
Membaca zikir atau wirid asma Allah merupakan cara dalam pembersihan diri untuk mencapai sifat Allah, yakni bersifat dengan sifat-sifatnya yang mulia sehingga dapat mencapai derajat insan kamil.
Selama perluasan dan penyebarannya, tariqt qadiriyah mengembangkan banyak ritual dan wirid, khususnya ketika menyebar di Turki,  Mesir, India, dan Afrika. Sebagian merupakan ritual yang diajarkan oleh Sekh Abd. Al-Qadir, dan sebagian lagi merupakan penambahan yang dialakukan kemudian simbul-simbul terkadangn di adopsi untuk menggaris bawahi keutamaan khusus dalam tarikat ini di daerah-daerah yang berbeda. Qadiriyah Turki mengadopsi mawar hijau sebagai simbol mereka. Ketika seorang calon murid akan diterima di tarekat, Syekh Qadiry menyampirkan pada peti bulunya sebentuk mawar yang terdiri dari 18 bagian dengan segel Sulaiman ditengahnya. Peti ini disebut Taj (mahkota), hal yang amat didambakan kelompok mistik.
Tareqat Qadiriyah Mesir mempergunakan surban putih dan panji-panji putih. Sejumlah nelayan yang menjadi pengikut tarekat ini memmbawa jaring galah beraneka warna tatkala mengikuti prosesi. Di Maroko, sejumlah anggota tarekat Qadiriyah melantunkan zikir diiringi instrumen musik di Zawiyah tatkala diambil sumpahnya. Tidak luput juga sejumlah peninggalan Syekh Abd. Al-Qadir dikeramatkan dan dibawa keberbagai wilayah. Para pengikut tarekat Qadiriyah percaya bahwa peninggalan tersebut membawa cahaya kesucian dan menerangi daerah-daerah mereka. Sebuah surban yang dipercaya merupakan milik Syekh kini terdapat di daerah Ochh.
Adapun seseorang yang akan memasuki tarekat Qadiriyah, disamping perlu mempersiapkan pembersihan diri sejak awal, setidaknya dia harus menempuh dua fase, yaitu.[5]
Fase pertama diawali dan diakhiri dalam satu kali pertemuan. Jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh, memakan waktu tidak lebih dari setengah jam. Fase ini memiliki beberapa tahapan, antara lain:
 
1.  Pertemuan pertama antara murid dan syekh. Dalam pertemuan ini dilakukan beberapa keharusan, seperti perjanjian, taubat, permohonan ampun kepada Allah, taat, dan zikir.
 
2.  Wasiat, berupa pesan-pesan syekh kepada sang murid untuk diamalkan. pesan-pesan tersebut antara lain, menanggung derita, pemaaf, tidak menyakiti saudara, bersungguh-sunguh mengekang hawa nafsu, menghindari  kedengkian, iri hati, dusta dan perbuatan-perbuatan keji lainnya. Memelihara wudhu, beristigfar, dan mengucapkan shalawat Nabi.
 
3.  Bai`at, yang berarti sang murid diterima memasuki ajaran tarekat. Pada saat ini syekh mengatakan: “Aku telah menerimamu sebagai murid, aku telah membai`atmu atas penerimaan ini.
 
4.  Do`a dari syekh yang dibacakan di hadapan sang murid.

5.  Segelas minuman untuk sang murid oleh Syekh dengan dibacakan pengalaman ayat Al-Qur`an
Kemudian syekh membaca surah Al-Fatihah dan Al-Ikhlas 3X lalu Syekh memberikan gelas yang berisikan minuman tadi untuk diminum sang murid.
Setelah selesai fase pertama ini, sang murid telah menjadi anggota dan berkewajiaban mengikuti ajaran syekh yang telah mengambil sumpah darinya.
Fase kedua, sang murid memasuki tahapan perjalanan menuju Allah dengan bantuan sekh untuk membimbing dan menyertainya selama proses perjalanan. Fase ini dapat memakan waktu bertahun-tahun. Hal itu akan berakhir ketika sedang murid telah nyata-nyata mandiri dari bantuan gurunya, ia akan dianugerahi “ijazah” sebagai bukti keluhuran jiwanya. Pada saat itulah ia diakui dan sah menjadi bagian dari para syekh.