Minggu, 18 Oktober 2015

""""""Arsiiiffff""""""

Rabi’ah Al-Adawiyah ra.

Rabiah adalah salah satu tokoh sufi wanita pada zamannya,beliau dilahirkan di kota Basrah tahun 95 hijriyah,dan putri ke 4 dari seorang lelaki bernama,Ismail Adawiyah.Beliau hidup dalam kemiskinan dan lingkungan yang serba kurang bahkan ketika Rabiah lahir lampu untuk menerangi saat kelahirannyapun tidak ada. Rabiah yang lahir dalam keadaan miskin tapi kaya akan iman dan peribadatan kepada Allah.
Ayahnya hanya seorang yang bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan sampan. Pada akhir kurun pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah, yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlomba-lomba mencari kekayaan. Sebab itu kejahatan dan maksiat tersebar luas.
Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali. Namun begitu, Allah telah memelihara sebahagian kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Pada masa itulah muncul satu gerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri. Pengikutnya terdiri daripada lelaki dan wanita. Mereka menghabiskan waktu dan tenaga untuk mendidik jiwa dan rohani mengatasi segala tuntutan hawa nafsu demi mendekatkan diri kepada Allah sebagai hamba yang benar-benar taat. Ayahanda Rabi’ah merupakan hamba yang sangat taat dan taqwa,hidup jauh dari kemewahan dunia dan tidak pernah berhenti bersyukur kepada Allah. Beliau mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang berjiwa bersih. Pendidikan yang diberikannya bersumberkan al-Quran semata-mata. Natijahnya Rabi’ah sendiri begitu gemar membaca dan menghayati isi al-Quran sehigga berhasil menghafal kandungan al-Quran.
Sejak kecil Rabi’ah sudah berjiwa halus, mempunyai keyakinan yang tinggi serta keimanan yang mendalam. Memasuki masa kedewasaannya, kehidupannya menjadi serba sempit,dan semakin sulit setelah beliau ditinggal ayah dan ibunya,dipanggil Allah. Dan ujian2 lain yang menguji keteguhan imannya,sampai dia sanggup,untuk menjadi hamba sahaya dari seorang kaya raya pada zaman itu,dan ini terjadi karena penderitaan kemiskinan yang dideritanya.
Cobaan demi cobaan dilalui Rabiah dalam menjalani hidupnya yang sarat akan penderitaan dan karena beliau pinter memainkan alat musik, maka majikannya semakin menjadikannya sumber mencari uang dengan keahlian yang dimiliki Rabiah.
Dalam keadaan hidup yang keras dan serba terkekang sebagai hamba sahaya,membuat Rabiah mendekatkan diri kepada Allah, dan selalu menyempatkan waktunya yang luang untuk terus bermohon kepada Allah, baik pagi maupun petang,malam dan siang. Amalannya tidak hanya sebatas berdoa saja tapi sepanjang hari dan sepanjang ada waktu dia senantiasa selalu berzikir dan berdoa, dan selalu melaksanakan amalan-amalan sunat lainnya dan saat melakukan sholat sepanjang sholat airmatanya selalu membasahi sajadahnya, air mata kerinduan kepada Allah sang Khaliq yang di rinduinya.
Ada riwayat yang mengatakan beliau telah terjebak dalam dunia maksiat. Namun dengan limpah hidayah Allah, dengan dasar keimanan yang kuat dan belum padam di hatinya, dia dipermudahkan oleh Allah untuk kembali bertaubat. Saat2 taubat inilah yang mungkin dapat menyadarkan serta mendorong hati bagaimana merasai cara berkomunikasi yang baik antara seorang hamba rabiah dengan sang Khaliq Allah swt dan selayaknya seorang hamba bergantung harapan kepada belas ihsan Rabbnya.
Kecintaan Rabiah kepada Allah mengalahkan hidup dan kecintaannya kepada dunia dan isinya, hari-harinya habis untuk berkomunikasi dengan Allah betapa dia merasa dirinya adalah milik Allah hingga ada beberapa pemuda ingin melamarnya di tolaknya dengan halus.
Beliau selalu berbicara dengan Allah seolah-olah dekat sekali dengan Allah dengan bahasa yang indah dan doa-doa yang sangat menyentuh hati dan kata pujian seperti layaknya kerinduan seseorang kepada kekasih hatinya.Salah satu kata-kata Rabiah ketika ber munajat sambil air matanya mengalir.
“Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun,
Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun,
Kekasihku ghaib dari penglihatanku dan peribadiku sekalipun,
Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun.”
Ya Tuhanku!
Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu
supaya tiada suatupun yang dapat
memalingkan aku daripada-Mu.”
Rabiah banyak menolak lamaran yang datang kepada nya, dengan inilah alasannya: “Perkawinan itu memang perlu bagi siapa yang mempunyai pilihan. Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak mempunyai apa-apa pun.” Rabi’ah seolah-olah tidak mengenali yang lain daripada Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah semata- mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhaan Allah. Rabi’ah telah mematikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata.
Selam 30 tahun selalu doa ini yang senantiasa di ulang-ulang ketika dalam sholatnya “Ya Tuhanku!
Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu
supaya tiada suatupun yang dapat
memalingkan aku daripada-Mu.”
Di antara syairnya yang masyhur berbunyi:
“Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun, Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun, Kekasihku ghaib daripada penglihatanku dan peribadiku sekalipun, Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun.”
Rabi’ah sangat luar biasa di dalam mencintai Allah. Beliau menjadikan kecintaan pada Ilahi itu sebagai satu cara untuk membersihkan hati dan jiwa. Beliau memulaikan pemahamannya tentang sufinya dengan menanamkan rasa takut dari murka Allah seperti yang pernah ungkapkannya dalam doa-doa beliau.
Wahai Tuhanku!
Apakah Engkau akan membakar
dengan api hati yang mencintai-Mu
dan lisan yang menyebut- Mu dan
hamba yang takut kepada-Mu?”
Kecintaan Rabi’ah kepada Allah bukan karena pengharapan untuk beroleh syurga Allah semata-mata,tapi sudah menjadi kewajiban baginya
“Jika aku menyembah-Mu kerana takut daripada api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu kerana mengharap syurgaMu maka jauhkan aku dari syurgaMu ! Tetapi jika aku menyembah- Mu kerana kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”
Begitulah keadaan kehidupan Rabi’ah yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan keimanan serta kecintaan kepada- Nya.
Rabi’ah meninggal dunia pada 135 Hijrah yaitu ketika usianya menjangkau 80 tahun. Moga-moga Allah meridha beliau, amin.
Untuk itu mari kita merenung adakah kita sadar akan sebuah hakikat yang ada di sebut dalam surat al Imran ayat 142, ”Apakah kamu mengira bahawa kamu akan masuk syurga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang yang sabar.”(QS. Ali-Imron[3]:142)
Bagaimana perasaan kita apabila orang yang kita kasihi menyinggung perasaan kita? Adakah kita terus berkecil hati dan meletakkan kesalahan kepada orang tesrbut? Tidakkah terpikir oleh kita untu merasakan dalam hati dan berdoa, “Ya Allah! Ampunilah aku. Sesungguhnya hanya Engkau yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hanya kasih-Mu yang abadi dan hanya hidup di sisi-Mu saja yang kekal. Selamatkanlah aku dari tipu daya yang mengasyikkan.”
Sesungguhnya hendaklah kecintaan kepada Allah benar-benar dapat kita tanamkan kepada diri kita bukan hanya sekedar sholat dan puasa atau ibadah ritual lainnya tapi yakin kan diri semakin kita mengenal Allah dengan dekat maka semakin ingin kita bertemu dan akan ada kerinduan untuk bertemu sang Khaliq.

TASAWUF DAN ILMU LADUNI

Ilmu kasyaf atau yang lebih dikenal dengan ilmu laduni (ilmu batin) tidaklah asing ditelinga kita, lebih - lebih lagi bagi siapa saja yang sangat erat hubungannya dengan tasawuf beserta tarekat-tarekatnya. Kata sebagian orang: “Ilmu ini sangat langka dan sakral. Tak sembarang orang bisa meraihnya, kecuali para wali yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat. Sehingga jangan sembrono untuk buruk sangka, apalagi mengkritik wali-wali yang tingkah lakunya secara dhahir menyelisihi syariat. Wali-wali atau gus-gus itu beda tingkatan dengan kita, mereka sudah sampai tingkatan ma’rifat yang tidak boleh ditimbang dengan timbangan syari’at lagi”. Benarkah demikian? Inilah topik yang kita kupas pada kajian kali ini.

Hakikat Ilmu Laduni
Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu.
Ini bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh tenar kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya tulis mereka sendiri.
Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)
Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)
Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)
Dedengkot wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka tidaklah kosong dari sistim belajar model tersebut dari penambahan-penambahan. Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla - sampai dia berkata - maka tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan dari hasil pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.
Ilmu Laduni Dan Dampak Negatifnya Terhadap Umat
Kaum sufi dengan ilmu laduninya memiliki peran sangat besar dalam merusak agama Islam yang mulia ini. Dengannya bermunculan akidah-akidah kufur -seperti diatas - dan juga amalan-amalan bid’ah. Selain dari itu, mereka secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam kasus pembodohan umat. Karena menuntut ilmu syar’i merupakan pantangan besar bagi kaum sufi. Berkata Al Junaidi: “Saya anjurkan kepada kaum sufi supaya tidak membaca dan tidak menulis, karena dengan begitu ia bisa lebih memusatkan hatinya. (Quutul Qulub 3/135)
Abu Sulaiman Ad Daraani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadits atau bersafar mencari nafkah atau menikah berarti ia telah condong kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah 1/37)
Berkata Ibnul Jauzi: “Seorang guru sufi ketika melihat muridnya memegang pena. Ia berkata: “Engkau telah merusak kehormatanmu.” (Tablis Iblis hal. 370)
Oleh karena itu Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Ajaran tasawuf itu dibangun atas dasar rasa malas.” (Tablis Iblis:309)
Tak sekedar melakukan tindakan pembodahan umat, merekapun telah jatuh dalam pengkebirian umat. Dengan membagi umat manusia menjadi tiga kasta yaitu: syariat, hakekat, dan ma’rifat, seperti Sidarta Budha Gautama membagi manusia menjadi empat kasta. Sehingga seseorang yang masih pada tingkatan syari’at tidak boleh baginya menilai atau mengkritik seseorang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat atau hakekat.
Syubhat-Syubhat Kaum Sufi Dan Bantahannya

1. Kata laduni mereka petik dari ayat Allah yang berbunyi:
وَعَلَمَّنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
 
“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”. (Al Kahfi: 65)
Mereka memahami dari ayat ini adanya ilmu laduni sebagaimana yang Allah anugerahkan ilmu tersebut kepada Nabi Khidhir. Lebih anehnya mereka meyakini pula bahwa Nabi Khidhir hidup sampai sekarang dan membuka majlis-majlis ta’lim bagi orang-orang khusus (ma’rifat).
Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum muslimin, wajibnya beriman kepada nabi-nabi Allah tanpa membedakan satu dengan yang lainnya dan mereka diutus khusus kepada kaumnya masing-masing. Nabi Khidhir diutus untuk kaumnya dan syari’at Nabi Khidhir bukanlah syari’at bagi umat Muhammad. Rasulullah bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
 
“Nabi yang terdahulu diutus khusus kepada kaumnya sendiri dan aku diutus kepada seluruh umat manusia” (Muttafaqun ‘alaihi)
Allah berfirman (artinya):
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan”. (As Saba’: 28)
Adapun keyakinan bahwa Nabi Khidhir masih hidup dan terus memberikan ta’lim kepada orang-orang khusus, maka bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman (artinya): “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). (Al Anbiya’: 34)
Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مَنْفُوْسَةٍ اليَوْمَ تَأْتِيْ عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ حَيَّةٌ
 
“Tidak satu jiwapun hari ini yang akan bertahan hidup setelah seratus tahun kedepan”. (H.R At Tirmidzi dan Ahmad)
Adapun keyakinan kaum sufi bahwa seseorang yang sudah mencapai ilmu kasyaf, akan tersingkap baginya rahasia-rahasia alam ghaib. Dengan cahaya hatinya, ia bisa berkomunikasi dengan Allah, para Rasul, malaikat, ataupun wali-wali Allah. Pada tingkatan musyahadah, ia dapat berinteraksi langsung tanpa adanya pembatas apapun.
Cukup dengan pengakuannya mengetahui ilmu ghaib, sudah bisa dikatakan ia sebagai seorang pendusta. Rasul e adalah seorang yang paling mulia dari seluruh makhluk Allah, namun e tidaklah mengetahui ilmu ghaib kecuali apa yang telah diwahyukan kepadanya.
“Dia (Allah) yang mengetahui ilmu ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan seseorangpun tentang yang ghaib kecuali dari para rasul yang diridhai-Nya”. (Al Jin: 25-26)
Apalagi mengaku dapat berkomunikasi dengan Allah atau para arwah yang ghaib baik lewat suara hatinya atau berhubungan langsung tanpa adanya pembatas adalah kedustaan yang paling dusta. Akal sehat dan fitrah suci pasti menolaknya sambil berkata: “Tidaklah muncul omongan seperti itu kecuali dari orang stres saja”. Kalau ada yang bertanya, lalu suara dari mana itu? Dan siapa yang diajak bicara? Kita jawab, maha benar Allah dari segala firman-Nya: “Apakah akan Aku beritakan, kepada siapa syaithan-syaithan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithan) itu, dan kebanyakan mereka orang-orang pendusta”. (Asy Syu’ara: 221-223)
2. Sebagian kaum sufi berkilah dengan pernyataannya bahwa ilmu laduni (Al Kasyaf) merupakan ilham dari Allah (yang diistilahkan wangsit). Dengan dalih hadits Nabi Muhammad:

إِنَّهُ قَدْ كَانَ قَبْلَكُمْ فِيْ الأَمَمِ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكَنْ فِيْ أُمَّتِي أَحَدٌ فَعُمَر
 
“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu Umar.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah bagi mereka. Makna dhohir hadits ini, menunjukkan keberadaan ilham itu dibatasi dengan huruf syarat (kalaulah ada). Maksudnya, kalaupun ada di umat ini, pastilah orang yang mendapatkan ilham adalah Umar Ibnul Khathab. Sehingga beliau digelari al mulham (orang yang mendapatkan ilham). Dan bukan menunjukkan dianjurkannya cari wangsit, seperti petuah tokoh-tokoh tua kaum sufi. Bagaimana mereka bisa memastikan bisikan-bisikan dalam hati itu adalah ilham? Sementara mereka menjauhkan dari majlis-majlis ilmu yang dengan ilmu syar’i inilah sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan.
Mereka berkilah lagi: “Ini bukan bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah e: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena dengannya ia melihat cahaya Allah”. (H.R At Tirmidzi)
Hadits ini dho’if (lemah), sehingga tidak boleh diamalkan. Karena ada seorang perawi yang bernama Athiyah Al Aufi. Selain dia seorang perawi yang dho’if, diapun suka melakukan tadlis (penyamaran hadits).
Singkatnya, ilham tidaklah bisa mengganti ilmu naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), lebih lagi sekedar firasat. Ditambah dengan adanya keyakinan-keyakinan batil yang ada pada mereka seperti mengaku mengetahui alam ghaib, merupakan bukti kedustaan diatas kedustaan. Berarti, yang ada pada kaum sufi dengan ilmu laduninya, bukanlah suatu ilham melainkan bisikan-bisikan syaithan atau firasat rusak yang bersumber dari hawa nafsu semata. Disana masih banyak syubhat-syubhat mereka, tapi laksana sarang laba-laba, dengan fitrah sucipun bisa meruntuhkan dan membantahnya.

HADITS-HADITS DHO’IF DAN PALSU YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT
Hadits Ali bin Abi Thalib:

عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَحُكْمٌ مِنْ أَحْكَامِ اللهِ ، يَقْذِفُهُ فِيْ قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءَ مِنْ عِبَادِهِ
“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.

Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab Al Wahiyaat 1/74, beliau berkata: “Hadits ini tidak shahih dan secara mayoritas para perawinya tidak dikenal”. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “Ini adalah hadits batil”. Asy Syaikh Al Albani menegaskan bahwa hadits ini palsu. (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no 1227)

" KASYF "

Bagi pengamal Tarekat apalagi yang sudah pernah suluk, rasanya tidak asing mendengar kata Kasyf atau pengucapan mudahnya menjadi “Kasaf”. Kalau ada teman seperguruan yang bisa menebak isi hati orang lain atau mengetahui hal-hal yang belum terjadi kemudian kita menamakannya dengan kasyf. Kita semua sepakat bahwa seorang yang kasyf adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk mengetahui hal-hal gaib baik tentang dirinya maupun diluar dirinya, yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Akan tetapi pada umumnya kita tidak terlalu mempermasalahkan makna kasyf yang sebenarnya.
Prof. Dr. Djama’an Nur Guru Besar IAIN Raden Patah Palembang dalam bukunya “Tasawuf dan Tarekat Naqsyabandiyah Pimpinan Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya” mengatakan bahwa Ilmu Kasyfi adalah ilmu yang diperoleh dengan terbukanya hijab (dinding atau tabir), sehingga hati nurani manusia mengetahui rahasia Ilahi, alam gaib sebagai rahmat dari Allah SWT, setelah dekatnya yang bersangkutan dengan Allah. Menurut bahasa, kasyf berarti terbuka atau tidak tertutup. Ilmu Kasyfi itu berpusat di hati sanubari manusia yang berada dio dalam dada.
Muhammad Solikhin dalam buku “Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar” mengatakan bahawa kasyf adalah penyingkapan atau wahyu, atau pengetahuan langsung dari Allah setelah seorang sufi berhasil melampaui tahap dzauq. Kasyf merupakan salah satu jenis pengetahuan langsung, yang dengan itu pengetahuan tentang Hakikat diungkapkan pada hati seorang sufi dan kekasih yang mencintai Allah.
Dengan sifat rahmat-Nya, Allah memberikan kepadanya sebuah Pengungkapan diri Allah. Tidak hanya menambah pengetahuannya tentang Allah, melainkan juga menambah kerinduannya yang menggelora dalam lautan cintanya kepada Allah. Disinilah seorang sufi sampai pada sebutan Ahl al-kasyf wa al-wujud (Kaum Penyingkap dan Penemu). Dalam penyingkapan itulah mereka “menemukan” dan “bertemu” Allah.
Dalam dunia sufi, terdapat lima jenis penyingkapan yang sering terjadi pada para sufi :
  1. Kasyf ‘aqli; Penyingkapan melalui akal. Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif yang paling rendah. Allah tidak bisa diketahui dan dicintai melalui akal (al-‘agl), karena akal membelenggu dan menghalangi manusia dalam tahap akhir kenaikan menuju Allah. Akal mempunyai dimensi rendah tentu saja tidak akan bisa menjaungkau Zat yang Tidak Terhingga yag mempunyai dimensi sangat tinggi. Siapapun yang mencari Allah lewat akal tidak akan bisa menemukan Hakikat Allah yang sebenarnya. : “Bumi dan langit-Ku tidak sanggup memuat-Ku, hanyalah hati hamba-Ku yang lembut lagi tenang yang sanggup memuat-Ku”.
  2. Kasyf-i arwah. Adalah bentuk penyingkapan ruh-ruh. Diawali tentang pengetahuan atas ruh diri sendiri, kemudian tentang ruh-ruh manusia dan makhluk lain, lalu meningkat ke ruh dalam seluruh dimensi “alam al-ghaib. Puncak pada pengetahuan langsung ruh al-idhafi, dan diarahkan kepada al-Ruh al-Haqq.
  3. Kasyf Bashari atau  juga kasyf kauni. Merupakan penyingkapan pada tataran makhluk. Penyingkapan visual yang terjadi melalui penciptaan yang dilakukan Allah. Dalam suatu peristiwa (tempat, tindakan, atau ucapan manusia) seorang yang suci bisa menjadi tempat bagi penyingkapan visual ini. Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia adalah Keindahan (Jamal) dan Keagungan (Jalal). Melalui makhlukNya, Allah bisa mengungkapkan diri-Nya pada hamba-Nya lewat salah satu Nama Keindahan-Nya yang akan menimbulkan kemanisan dan kesenangan. Atau lewat salah satu Nama Keagungan-Nya yang akan melahirkan ketakziman dan ketakutan. Disinilah peranan al-asma’ al-husna atau al-asma’ al-nabi sangat strategis untuk mengantarkan dan membawa seorang sufi ke dalam samudera penghayatan rohaniah.
  4. Kasyf Imani. Penyingkapan melalui keimanan. Penyingkapan ini terjadi melaui ketulusan iman seorang mukmin. Kadar intensitas penyingkapan ini bisa berfungsi sebagai katalisator yang mengaktifkan sang Mukmin untuk lebih banyak lagi mencari dan pengetahuan spritual.
  5. Al-kasyf al-Ilahi. Penyingkapan Illahi. Penyingkapan ini merupakan buah manis dari ibadah terus menerus dan menghiasi hati dengan mengingat Allah (Dzikurullah). Prosesnya bisa melalui dzikir, wirid, atau mujahadah dan sejenisnya. Penyingkapan Illahi ini bisa terjadi secara langsung dalam hati, tanpa bantuan visual apapun, yakni ketika keindahan Allah masuk kedalam hati seorang sufi dan pecinta-Nya. Ini juga bisa terjadi dengan bantuan visual berupa lokus tertentu bagi Cahaya Illahi, seperti dengan sarana wushuliyah seorang suci (Mursyid), benda atau tenmpat suci. Menghadirkan Mursyid terus menerus dalam hati ibarat menyambungkan listrik ke pusat sumber listrik sehingga listrik mengalir dengan sempurna dan bisa dipergunakan untuk apa saja. Atau ibarat menyambungkan sebuah pipa agar air bisa mengalir dari sumbernya dan bisa dipergunakan menurut kebutuhan. Seseorang yang memperoleh penyingkapan ini akan Melihat Wajah Allah yang tercermin melalui sarana hantaran yang ada, dan terpantul ke dalam lubuk hati.
Dari semua tingkatan itu maka Al-kasyf al-Ilahi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi karena pada tahap ini seorang hamba bisa melihat dengan jelas Tuhannya lewat hati yang bening dan tenang. Melihat Tuhan adalah puncak dari terbukanya hijab sedangkan kemampuan melihat hal-hal gaib lain seperti Malaikat, Jin dan lain-lain adalah tingkatan dibawahnya begitu juga kemampuan membaca isi hati orang lain adalah salah satu kemampuan yang di dapat oleh orang yang sudah terbuka hijabnya.
Ilmu Kasyf, Ilmu Laduni dan kemampuan gaib adalah ilmu yang dimiliki oleh orang yang dekat dengan Allah. Kalau kita membuka cacatan sejarah akan kita jumpai banyak sekali kekeramatan yang dimiliki oleh Para Wali Allah dan juga Ulama yang dekat dengan-Nya. Syekh Abdul Qadir Jailani, Syekh Abu Yazid Al Bisthami, Rabi’ah Al Adawiyah, Junaidi Al-Baghdadi, Abu Said Al-Kharaj, Imam AL-Ghazali  adalah orang-orang yang mempunyai kekeramatan dan dicatat dalam sejarah Islam. Kemampuan mereka bukan untuk ditampilkan dengan penuh kesombongan akan tetapi semata-mata sebagai sarana dakwah untuk menambah keimanan orang.
Bagi kaum Sufi, terkadang mereka tidak pernah tahu tentang definisi dan tingkatan kasyf akan tetapi mereka sudah berada di alam kasyf dan itu jauh lebih baik dari pada menghapal denisi dan pembagian kasyf namun tidak pernah sampai kepada alam-Nya.
Menutup tulisan ini saya mengutip sebuah pesan diantara Sembilan Pesan Penting yang selalu dibacakan di saat penutupan suluk sebagai pengingat kita semua agar selalu hati-hati dan terus bermujahadah tanpa henti.
“…Jika engkau diperintahkan mengamalkan satu khatam, maka amalkanlah sekurang-kurangnya satu khatam, jika engkau diperintahkan mengamalkan sekali duduk maka amalkanlah sekurang-kurangnya sekali duduk. Jika engkau patuhi semuanya maka akan bertambah-tambah akan kasyaf mu dan jika tidak engkau kerjakan maka lambat laun akan hilang semuanya walau engkau Ahli Kasyf sekalipun…

SIAPA YANG TIDAK MENGINGINKAN SEORANG MURSYID (PEMBIMBING)

Dalam Futhuh al Ghaib, Syekh Abdul Qadir al Jailani menulis syair berikut :
Jika takdir membantumu atau kala menuntunmu
kepada Syekh yang jujur dan ahli hakikat
maka bergurulah dengan rela dan ikutilah kehendaknya
Tinggalkan apa yang sebelumnya engkau lakukan
Sebab menentang berarti melawan
Dalam kisah Khidir yang mulia terdapat cakupan
Dengan membunuh seorang anak dan Musa mendebatnya
Tatkala cahaya subuh telah menyingkap kegelapan malam
Dan seseorang dapat menghunus pedangnya
Maka Musa pun meminta maaf
Demikian keindahan di dalam ilmu kaum sufi
Sebagian kita mungkin sudah sering mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang mengaku paling “islami” bahwa tasawuf adalah ilmu diluar islam, pembuat bid’ah, syirik dan lain sebagainya dan karena yang menyampaikan pendapat ini orang berlatar belakang pendidikan agama yang lumayan (baca: syariat), alumni arab Saudi atau mesir dengan sekian banyak title sehingga masyarakat awam dengan mudah langsung percaya. Sebagian mereka tidak tahu bahwa Arab Saudi bukan lagi menjadi tempat berkumpulkan berbagai macam mazhab akan tetapi telah menjadi corong bagi mazhab tunggal yang baru muncul di abad ke 17 yaitu mazhab wahabi.
Saya tidak membahas tentang tuduhan-tuduhan tersebut dan saya rasa itu tidak ada menfaatnya sama sekali. Kesempatan ini saya ingin menyampaikan informasi akan pentingnya belajar tasawuf/thariqat agar kita bisa merasakan nikmatnya beragama.
Belajar tasawuf ada dua jenis, yaitu secara Teori dan Praktek. Secara teori telah diajarkan di pasantren, IAIN bahkan anda bisa menjadi seorang profesor tasawuf tanpa anda harus mempraktekkan zikir dan dibimbing oleh mursyid. Namanya juga teori tentu yang didapatkan hanya teori saja.
Belajar tasawuf sebenarnya harus mempunyai pembimbing rohani, bukan saja mengajarkan anda tapi juga membimbing anda agar sampai kehadirat-Nya karena inti tasawuf adalah bagaimana seorang bisa berhampiran dengan Allah SWT. Tentang hal ini Abu Ali ats Tsaqafi berkata, “Seandainya seseorang mempelajari semua jenis ilmu dan berguru kepada banyak ulama, maka dia tidak sampai ke tingkat para sufi kecuali dengan melakukan latihan-latihan spiritual bersama seorang Syeikh yang memiliki akhlak yang luhur dan dapat memberinya nasehat-nasehat. Dan barang siapa yang tidak mengambil akhlaknya dari seorang Syeikh yang memerintah dan melarangnya, serta memperlihatkan cacat-cacat dalam amalnya dan penyakit-penyakit dalam jiwanya, maka dia tidak boleh diikuti dalam memperbaiki muamalah”.
Jadi tasawuf adalah ilmu praktek dan tentu saja membutuhkan pembimbing yang ahli dibidangnya, tanpa adanya pembimbing rohani maka segala praktek yang dilakukan sudah pasti akan disesatkan setan. Abu Yazid Al-Bisthami berkata, “Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka wajib syetan gurunya.”
Apabila jalan kaum sufi dapat dicapai dengan pemahaman tanpa bimbingan seorang Syekh, niscaya orang seperti Imam Al-Ghazali dan Syekh Izzuddin ibn Abdussalam tidak perlu berguru kepada seorang Syekh. Sebelum memasuki dunia tasawuf, keduanya pernah berkata, “Setiap orang yang mengatakan bahwa adalah jalan memperoleh ilmu selain apa yang ada pada kami, maka dia telah berbuat kebohongan kepada Allah.”. Zaman sekarang kita juga sering mendengar pendapat seperti itu, tidak mengakui ilmu selain yang mereka pelajari (syariat) dan menganggap orang-orang yang mempunyai kemampuan bathin, ilmu laduni dan lain sebagainya sebagai pembohong.
Akan tetapi, setelah Imam Al-Ghazali dan Syekh Izzuddin ibn Abdussalam yang tadinya hanya belajar syariat kemudian memasuki dunia tasawuf keduanya berkata, “Sungguh kami telah menyia-nyiakan umur kami dalam kesia-siaan dan hijab (tabir penghalang antara hamba dan Tuhan).”
Orang yang bisa menemukan kebenaran bukanlah orang yang banyak membaca buku karena terkadang semakin banyak yang dipelajari justru tanpa sadar menjadi Hijab antara kita dengan Allah. Hanya kerendahan hati dan sikap mau belajar dan mencari yang menyebabkan seseorang menemukan Allah SWT, sebagai mana ucapan rendah hati Musa kepada Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al Kahfi, 66). Juga pengakuan Ahmad ibn Hanbal bahwa Abu Hamzah al Baghdadi lebih utama darinya dan pengakuan Ahmad ibn Suraij bahwa Abu Qasim Junaid lebih utama darinya.
Imam al-Ghazali juag mencari seorang Syekh yang menunjukkannya ke jalan tasawuf, padahal ia adalah Hujjatul Islam. Begitu juga, Syekh Izzuddin ibn Abdussalam berkata, “Aku tidak mengetahui Islam sempurna kecuali setelah aku bergabung dengan Syekh Abu Hasan Asy Syadzili”. Abdul Wahab Asy Sya’rani berkata, “Apabila kedua ulama besar ini, yakni al-Ghazali dan Syekh Izzuddin ibn Abdussalam, padahal keduanya adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan luas tentang syariat, maka orang selain mereka lebih membutuhkan lagi.”
Dalam hal ini al Qur’an memberikan petunjuk kepada kita semua untuk mencari orang-orang yang telah di beri petunjuk oleh Allah SWT sebagaimana firman Allah: “Sebenarnya al Qur’an itu adalah ayat-ayat nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu” (QS. Al ankabut : 49). “Dan ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku” (QS. Lukman: 15) dan firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar”. (QS. Taubah: 119). Diperkuat oleh hadist, “Jadilah kamu bersama Allah, apabila tidak bersama Allah jadilah kalian bersama orang yang sudah bersama Allah, maka sesungguhnya orang itu bisa membawamu kepada Allah” (HR. Abu Daud).
Dengan demikian, memiliki seorang pembimbing (mursyid) adalah suatu keharusan. Para sahabat sendiri mengambil ilmu dan amalan mereka dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengambil ilmu dan amalannya dari Jibril. Dan para tabi’in mengambil ilmu dan amalan dari para sahabat.
Setiap sahabat mempunyai para pengikut yang khusus. Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan al A’raj, misalnya, adalah pengikut Abu Hurairah. Sementara Thawus, Wahhab dan Mujahid, adalah pengikut Ibnu Abas. Demikian seterusnya. Pengambilan ilmu dan amalan ini sangat jelas, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat mereka.
Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak segera mencari Guru Pembimbing yang siap menuntun dan membimbing kita mencapai kebenaran hakiki. Carilah Guru yang benar-benar kamil mukamil, khalis mukhlisin sehingga dia bukan hanya berbicara tentang teori ketuhanan akan tetapi dengan keikhlasannya mampu membimbing anda kehadirat Allah SWT. Kalau anda bertanya siapakah Guru Mursyid yang kamil mukamil tersebut, saya tidak bisa menjawab karena kawatir jawaban saya akan menyinggung perasaan yang lain. Bagi setiap pengamal tasawuf mereka meyakini Guru mereka memiliki kemampuan untuk membimbing mereka dan tidak terkecuali Guru saya.
Abu Athailah As Sakandari dalam Latha’if al Minan, berkata, “Engkau tidak akan kekurangan mursyid yang dapat menunjukkanmu ke jalan Allah. Tapi yang sulit bagimu adalah mewujudkan kesungguhan dalam mencari mereka”.
Seorang penyair sufi berkata :
Rahasia Allah didapat dengan pencarian yang benar
Betapa banyak hal menakjubkan yang telah diperlihatkan kepada para pelakunya.
Ali al Khawas berkata dalam syairnya,
Jangan menempuh jalan yang tidak engkau kenal tanpa penunjuk jalan,
Sehingga engkau terjerumus dalam jurang-jurangnya.
Penunjuk jalan (Mursyid) akan dapat mengantarkan salik sampai ke pantai yang aman dan menjauhkan dari gangguan-gangguan selama di perjalanan. Sebab, penunjuk jalan (mursyid) sebelumnya telah melewati jalan itu dibawah bimbingan seseorang (mursyid sebelumnya) yang telah mengetahui seluk beluk jalan tersebut, mengetahui tempat-tempat berbahaya dan tempat-tempat yang aman dan terus menemaninya sampai akhirnya dia sampai di tempat yang dituju. Kemudian orang tersebut memberikan izin untuk membimbing orang lain.
Menutup tulisan ini saya mengutip Syair dari Ibnu Al-Banna yang menjelaskan tentang kedudukan kaum sufi yang telah melakukan perjalanan menuju Allah dan setelah sampai disana mememberikan kabar kepada orang lain untuk menuju kesana dengan selamat.
Kaum sufi tidak lain sedang melakukan perjalanan
Ke hadirat Tuhan Yang Maha Benar
Maka mereka membutuhkan penunjuk jalan
Yang benar-benar mengenal seluk beluk jalan itu
Dia telah melalui jalan itu, lalu dia kembali
Untuk mengabarkan apa yang telah didapat.

MUNAJAT SAYIDINA ALI

Segala puji bagi-Mu, wahai Pemilik Kedermawanan, Keagungan, dan Ketinggian.Engkau Maha Agung, memberi dan mencegah siapa yang Kau kehendaki.
Hanya kepada-Mu aku mengadu di saat sulit dan bahagia, wahai Tuhanku, Penciptaku, Pelindungku dan Suakaku
Ilahi, jika dosa telah menumpuk, maka maaf-Mu lebih agung dan lebih lapang dari dosaku
Ilahi, jika kuturuti segala kehendak nafsuku, maka kini aku berkelana di sahara penyesalan.
Ilahi, Engkau melihat kefakiran dan kepapaanku, sedangkan Engkau mendengar munajatku yang tersembunyi
Ilahi, jangan Kau putus harapanku dan jangan biarkan hatiku tersesat, karena asaku tertumpu pada aliran karunia-Mu
Ilahi, jangan Kau sia-siakan daku atau Kau campakkan aku, maka siapa lagi yang dapat kuharap dan kujadikan penyafaat
Ilahi, lindungilah aku dari siksa-Mu, karena aku adalah hamba-Mu yang terpenjara, hina, takut dan bersimpuh pada-Mu
Ilahi, bahagiakanlah aku dengan mengajarkan hujjahku bila aku sudah kembali ke alam kuburku
Ilahi, jika Kau siksa daku seribu tahun, maka temali harapanku kepada-Mu tak kan terputus
Ilahi, biarkan aku merasakan manisnya maaf-Mu pada hari tiada keturunan dan harta yang bermanfaat di sana
Ilahi, jika Kau tak menjagaku, niscaya aku kan binasa, dan jika Kau memeliharaku, maka aku takkan binasa
Ilahi, jika Engkau tak maafkan pendosa, maka siapakah yang kan memaafkan orang jahat yang berlumuran hawa nafsu?
Ilahi, jika aku teledor dalam mencari ketakwaan, maka kini aku berlari mengejar maaf-Muilahi, jika aku berbuat kesalahan tanpa sepengetahuanku, aku selalu mengharap-Mu sehingga orang-orang berkata, “Alangkah tidak takutnya ia!”
Ilahi, dosa-dosaku telah menumpuk bak gunung menjulang, namun ampunan-Mu lebih agung dan tinggi dari dosaku
Ilahi, mengingat karunia-Mu dapat menyelamatkan bara (hati dan kekhawatiran)ku, sedangkan mengingat dosa-dosa, maka mengucurlah air mataku
Ilahi, maafkanlah kesalahanku dan musnahkanlah dosa-dosaku, karena aku mengaku, takut dan bersimpuh di haribaan-Mu
Ilahi, berilah kebahagiaan dan ketenangan kepadaku, karena aku tak kan mengetuk pintu selain-Mu
Ilahi, jika Kau usir aku atau Kau hinakan aku, maka apa dayaku dan tak ada yang bisa kuperbuat, ya Rabbi?
Ilahi, pencinta-Mu kan terjaga sepanjang malam, bermunajat dan memohon kepada-Mu, sedangkan orang yang lupa akan terlelap tidur
Ilahi, makhluk ini berada di antara dua tidur, maka kala sadar ia bersimpuh di malam hari.Mereka semua mengharap karunia agung-Mu, mengharap rahmat-Mu yang agung dan menginginkan keabadian
Ilahi, asaku memberikan sebuah harapan kebahagiaan, sedang keburukan dosaku akan menghinakanku
Ilahi, jika Kau memaafkanku, maka maaf-Mu adalah penyelamatku, dan jika tidak, aku kan hancur dengan dosa yang membinasakan ini
Ilahi, bangkitkanlah aku untuk agama Muhammad dan segera bertaubat, bertakwa, khusyu’ dan bersimpuh di haribaan-Mu
Ilahi, jangan Kau halangi aku dari syafaatnya yang agung, karena syafaatnya pasti terkabulkan. Curahkan sholawat atas mereka selama para muwahhid memohon dan orang-orang saleh bermunajat bersimpuh di pintu-Mu
Ali bin Abi Thalib–

GAMBARAN AHWAL PARA PENEMPUH JALAN


3: Kelalaian yang menutup ingatan terhadap Allah s.w.t.
Ini dalam memperkatakan tentang makrifat tentang gambaran makrifat tetapi tidak dikatakan makrifat dan tidak dihuraikan secara terus terang sebaliknya diperkatakan sebagai ahwal. Ahwal adalah jamak bagi perkataan hal. Hikmat ini membawa erti hal membentuk keadaan amal. Amal adalah perbuatan atau kelakuan lahiriah dan hal adalah suasana atau kelakuan hati. Amal berkaitan dengan "lahiriah" manakala hal berkaitan dengan "batiniah." Oleh kerana hati menguasai sekalian anggota maka kelakuan hati iaitu hal menentukan bentuk amal iaitu perbuatan lahiriah.

Dalam pandangan tasauf, hal diertikan sebagai pengalaman rohani dalam proses mencapai hakikat dan makrifat. Hal merupakan zauk atau rasa yang berkaitan dengan hakikat ketuhanan yang melahirkan makrifatullah (pengenalan tentang Allah s.w.t). Oleh itu, tanpa hal tidak ada hakikat dan tidak diperolehi makrifat. Ahli ilmu membina makrifat melalui dalil ilmiah tetapi ahli tasauf bermakrifat melalui pengalaman lansung tentang hakikat.
 
Sebelum memperolehi pengalaman hakikat, ahli kerohanian terlebih dahulu memperolehi kasyaf iaitu terbuka keghaiban kepadanya. Ada orang mencari kasyaf yang dapat melihat makhluk ghaib seperti jin. Dalam proses mencapai hakikat ketuhanan kasyaf yang demikian tidak penting. Kasyaf yang penting adalah yang dapat mengenali tipu daya syaitan yang bersembunyi dalam berbagai-bagai bentuk dan suasana dunia ini. Kasyaf yang menerima hakikat sesuatu, walau apa jua rupa yang dihadapi, penting bagi pengembara kerohanian. Rasulullah s.a.w sendiri sebagai ahli kasyaf yang paling unggul hanya melihat Jibrail a.s dalam rupanya yang asli dua kali sahaja, walaupun pada setiap kali Jibrail a.s menemui Rasulullah s.a.w dengan rupa yang berbeza-beza, Rasulullah s.a.w tetap mengenalinya sebagai Jibrail a.s. Kasyaf yang seperti inilah yang diperlukan agar seseorang itu tidak tertipu dengan tipu daya syaitan yang menjelma dalam berbagai-bagai rupa yang hebat dan menawan sekalipun, seperti rupa seorang yang kelihatan alim dan warak.
 
AL-ALIM .
Bila seseorang ahli kerohanian memperolehi kasyaf maka dia telah bersedia untuk menerima kedatangan hal atau zauk iaitu pengalaman kerohanian tentang hakikat ketuhanan. Hal tidak mungkin diperolehi dengan beramal dan menuntut ilmu. Sebelum ini pernah dinyatakan bahawa tidak ada jalan untuk masuk ke dalam gerbang makrifat. Seseorang hanya mampu beramal dan menuntut ilmu untuk sampai hampir dengan pintu gerbangnya. Apabila sampai di situ seseorang hanya menanti kurniaan Allah s.w.t, semata-mata kurniaan Allah s.w.t yang membawa makrifat kepada hamba-hamba-Nya. Kurniaan Allah s.w.t yang mengandungi makrifat itu dinamakan hal. Allah s.w.t memancarkan Nur-Nya ke dalam hati hamba-Nya dan akibat dari pancaran itu hati akan mendapat sesuatu pengalaman atau terbentuk satu suasana di dalam hati. Misalnya, pancaran Nur Ilahi membuat hati mengalami hal bahawa Allah Maha Perkasa. Apa yang terbentuk di dalam hati itu tidak dapat digambarkan tetapi kesannya dapat dilihat pada tubuhnya yang menggigil hingga dia jatuh pengsan. Pancaran Nur Ilahi membuat hati mengalami hal atau zauk atau merasai keperkasaan Allah s.w.t dan pengalaman ini dinamakan hakikat, iaitu hati mengalami hakikat keperkasaan Allah s.w.t. Pengalaman hati tersebut membuatnya berpengetahuan tentang maksud Allah Maha Perkasa. Jadi, pengalaman yang diperolehi daripada zauk hakikat melahirkan pengetahuan tentang Tuhan. Pengetahuan itu dinamakan makrifat. Orang yang berkenaan dikatakan bermakrifat terhadap keperkasaan Allah s.w.t. Oleh itu untuk mencapai makrifat seseorang itu haruslah mengalami hakikat. Inilah jenis makrifat yang tertinggi. Makrifat tanpa pengalaman hati adalah makrifat secara ilmu. Makrifat secara ilmu boleh didapati dengan belajar, sementara secara zauk didapati tanpa belajar(laduni). Ahli tasauf tidak berhenti setakat makrifat secara ilmu malah mereka mempersiapkan hati mereka agar sesuai menerima kedatangan makrifat secara zauk.
 
Ada orang yang memperolehi hal sekali sahaja dan dikuasai oleh hal dalam tempuh yang tertentu sahaja dan ada juga yang berkekalan di dalam hal. Hal yang berterusan atau berkekalan dinamakan wisal iaitu penyerapan hal secara berterusan, kekal atau baqa. Orang yang mencapai wisal akan terus hidup dengan cara hal yang berkenaan. Hal-hal (ahwal) dan wisal boleh dibahagikan kepada lima jenis:
 
1 : Abid:
Abid adalah orang yang dikuasai oleh hal atau zauk yang membuat dia merasakan secara bersangatan bahawa dirinya hanyalah seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa dan tidak mempunyai sebarang daya dan upaya untuk melakukan sesuatu. Kekuatan, keupayaan, bakat-bakat dan apa sahaja yang ada dengannya adalah daya dan upaya yang daripada Allah s.w.t. Semuanya itu adalah kurniaan-Nya semata-mata. Allah s.w.t sebagai Pemilik yang sebenar, apabila Dia memberi, maka Dia berhak mengambil kembali pada bila-bila masa yang Dia kehendaki. Seorang abid benar-benar bersandar kepada Allah s.w.t hinggakan sekiranya dia melepaskan sandaran itu dia akan jatuh, tidak bermaya, tidak boleh bergerak, kerana dia benar-benar melihat dirinya kehilangan apa yang datangnya dari Allah s.w.t. Hal atau suasana yang menguasai hati abid itu akan melahirkan amal atau kelakuan sangat kuat beribadat, tidak memperdulikan dunia dan isinya, tidak mengambil bahagian dalam urusan orang lain, sangat takut berjauhan dari Allah s.w.t dan gemar bersendirian. Dia merasakan apa sahaja yang selain Allah s.w.t akan menjauhkan dirinya daripada Allah s.w.t.
 
2 : Asyikin:
Asyikin ialah orang yang mendapat asyik dengan sifat Keindahan Allah s.w.t. Rupa, bentuk, warna dan ukuran tidak menjadi soal kepadanya kerana apa sahaja yang dilihatnya menjadi cermin yang dia melihat Keindahan serta Keelokan Allah s.w.t di dalamnya. Amal atau kelakuan asyikin ialah gemar merenung alam maya dan memuji Keindahan Allah s.w.t pada apa yang disaksikannya. Dia boleh duduk menikmati keindahan alam beberapa jam tanpa berasa jemu. Kilauan ombak dan titikan hujan memukau pandangan hatinya. Semua yang kelihatan adalah warna Keindahan dan Keelokan Allah s.w.t. Orang yang menjadi asyikin tidak memperdulikan lagi adab dan peraturan masyarakat. Kesedarannya bukan lagi pada alam ini. Dia mempunyai alamnya sendiri yang di dalamnya hanyalah Keindahan Allah s.w.t.
 
3 : Muttakhaliq:
Muttakhaliq adalah orang yang mencapai yang Haq dan bertukar sifatnya. Hatinya dikuasai oleh suasana Qurbi Faraidh atau Qurbi Nawafil. Dalam Qurbi Faraidh, muttakhaliq merasakan dirinya adalah alat dan Allah s.w.t menjadi Pengguna alat. Dia melihat perbuatan atau kelakuan dirinya terjadi tanpa dia merancang dan campur tangan, bahkan dia tidak mampu mengubah apa yang mahu terjadi pada kelakuan dan perbuatannya. Dia menjadi orang yang berpisah daripada dirinya sendiri. Dia melihat dirinya melakukan sesuatu perbuatan seperti dia melihat orang lain yang melakukannya, yang dia tidak berdaya mengawal atau mempengaruhinya. Hal Qurbi Faraidh adalah dia melihat bahawa Allah s.w.t melakukan apa yang Dia kehendaki. Perbuatan dia sendiri adalah gerakan Allah s.w.t, dan diamnya juga adalah gerakan Allah s.w.t. Orang ini tidak mempunyai kehendak sendiri, tidak ada ikhtiar dan tadbir. Apa yang mengenai dirinya, seperti perkataan dan perbuatan, berlaku secara spontan. Kelakuan atau amal Qurbi Faraidh ialah bercampur-campur di antara logik dengan tidak logik, mengikut adat dengan merombak adat, kelakuan alim dengan jahil. Dalam banyak perkara penjelasan yang boleh diberikannya ialah, "Tidak tahu! Allah s.w.t berbuat apa yang Dia kehendaki".
 
Dalam suasana Qurbi Nawafil, pula muttakhaliq melihat dengan mata hatinya sifat-sifat Allah s.w.t yang menguasai bakat dan keupayaan pada sekalian anggotanya dan dia menjadi pelaku atau pengguna sifat-sifat tersebut, iaitu dia menjadi khalifah dirinya sendiri. Hal Qurbi Nawafil ialah berbuat dengan izin Allah s.w.t kerana Allah s.w.t mengurniakan kepadanya kebolehan untuk berbuat sesuatu. Contoh Qurbi Nawafil adalah kelakuan Nabi Isa a.s yang membentuk rupa burung dari tanah liat lalu menyuruh burung itu terbang dengan izin Allah s.w.t, juga kelakuan beliau a.s menyeru orang mati supaya bangkit dari kuburnya. Nabi Isa a.s melihat sifat-sifat Allah s.w.t yang diizinkan menjadi bakat dan keupayaan beliau a.s, sebab itu beliau a.s tidak ragu-ragu untuk menggunakan bakat tersebut menjadikan burung dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah s.w.t.
 
4 : Muwahhid:
Muwahhid fana dalam zat, zatnya lenyap dan Zat Mutlak yang menguasainya. Hal bagi muwahhid ialah dirinya tidak ada, yang ada hanya Allah s.w.t. Orang ini telah putus hubungannya dengan kesedaran basyariah dan sekalian maujud. Kelakuan atau amalnya tidak lagi seperti manusia biasa kerana dia telah terlepas dari sifat-sifat kemanusiaan dan kemakhlukan. Misalkan dia bernama Ahmad, dan jika ditanya kepadanya di manakah Ahmad, maka dia akan menjawab Ahmad tidak ada, yang ada hanyalah Allah! Dia benar-benar telah lenyap dari ke'Ahmad-an' dan benar-benar dikuasai oleh ke'Allah-an'. Ketika dia dikuasai oleh hal dia terlepas daripada beban hukum syarak. Dia mungkin melaungkan, "Akulah Allah! Maha Suci Aku! Sembahlah Aku!" Dia telah fana dari 'aku' dirinya dan dikuasai oleh kewujudan 'Aku Hakiki'. Walau bagaimana pun sikap dan kelakuannya dia tetap dalam keredaan Allah s.w.t. Apabila dia tidak dikuasai oleh hal, kesedarannya kembali dan dia menjadi ahli syariat yang taat. Perlu diketahui bahawa hal tidak boleh dibuat-buat dan orang yang dikuasai oleh hal tidak berupaya menahannya. Ahli hal karam dalam lakuan Allah s.w.t. Bila dia melaungkan , "Akulah Allah!" bukan bermakna dia mengaku telah menjadi Tuhan, tetapi dirinya telah fana, apa yang terucap melalui lidahnya sebenarnya adalah dari Allah s.w.t. Allah s.w.t yang mengatakan Dia adalah Tuhan dengan menggunakan lidah muwahhid yang sedang fana itu.
Berbeza pula golongan mulhid. Si mulhid tidak dikuasai oleh hal, tidak ada zauk, tetapi berkelakuan dan bercakap seperti orang yang di dalam zauk. Orang ini dikuasai oleh ilmu tentang hakikat bukan mengalami hakikat secara zauk. Si mulhid membuang syariat serta beriman berdasarkan ilmu semata-mata. Dia berpuas hati bercakap tentang iman dan tauhid tanpa beramal menurut tuntutan syariat. Orang ini bercakap sebagai Tuhan sedangkan dia di dalam kesedaran kemanusiaan, masih gelojoh dengan keinginan hawa nafsu. Orang-orang sufi bersepakat mengatakan bahawa sesiapa yang mengatakan, "Ana al-Haq!" sedangkan dia masih sedar tentang dirinya maka orang berkenaan adalah sesat dan kufur!
 
5 : Mutahaqqiq:
Mutahaqqiq ialah orang yang setelah fana dalam zat turun kembali kepada kesedaran sifat, seperti yang terjadi kepada nabi-nabi dan wali-wali demi melaksanakan amanat sebagai khalifah Allah di atas muka bumi dan kehidupan dunia yang wajib diuruskan. Dalam kesedaran zat seseorang tidak keluar dari khalwatnya dengan Allah s.w.t dan tidak peduli tentang keruntuhan rumah tangga dan kehancuran dunia seluruhnya. Sebab itu orang yang demikian tidak boleh dijadikan pemimpin. Dia mesti turun kepada kesedaran sifat baharulah dia boleh memimpin orang lain. Orang yang telah mengalami kefanaan dalam zat kemudian disedarkan dalam sifat adalah benar-benar pemimpin yang dilantik oleh Allah s.w.t menjadi Khalifah-Nya untuk memakmurkan makhluk Allah s.w.t dan memimpin umat manusia menuju jalan yang diredai Allah s.w.t. Orang inilah yang menjadi ahli makrifat yang sejati, ahli hakikat yang sejati, ahli tarekat yang sejati dan ahli syariat yang sejati, berkumpul padanya dalam satu kesatuan yang menjadikannya Insan Rabbani. Insan Rabbani peringkat tertinggi ialah para nabi-nabi dan Allah s.w.t kurniakan kepada mereka maksum, sementara yang tidak menjadi nabi dilantik sebagai wali-Nya yang diberi perlindungan dan pemeliharaan.
 
Ahwal (hal-hal) yang menguasai hati nurani berbeza-beza, dengan itu akan mencetuskan kelakuan amal yang berbeza-beza. Ahwal mesti difahami dengan sebenar-benarnya oleh orang yang memasuki latihan tarekat kerohanian, supaya dia mengetahui, dalam amal yang bagaimanakah dia mendapat kedamaian dan mencapai maksud dan tujuan, apakah dengan sembahyang, zikir atau puasa. Dia mesti berpegang sungguh-sungguh kepada amal yang dicetuskan oleh hal tadi, agar dia cepat dan selamat sampai ke puncak.
------------------------------------------------------------------------------
1:Gambaran, ingatan, tarikan dan keinginan terhadap benda-benda alam seperti harta, perempuan, pangkat dan lain-lain.


2: Kehendak atau syahwat yang mengarahkan perhatian kepada apa yang dikehendaki.


4: Dosa yang tidak dibasuh dengan taubat masih mengotorkan hati.
Diri manusia tersusun daripada anasir

i.tanah,

ii.air,

iii.api dan

iv.angin.
Ia juga diresapi oleh unsur-unsur alam seperti galian, tumbuh-tumbuhan, haiwan, syaitan dan malaikat. Tiap-tiap anasir dan unsur itu menarik hati kepada diri masing-masing. Tarik menarik itu akan menimbulkan kekacauan di dalam hati. Kekacauan itu pula menyebabkan hati menjadi keruh. Hati yang keruh tidak dapat menerima sinaran nur yang melahirkan iman dan tauhid. Mengubati kekacauan hati adalah penting untuk membukakannya bagi menerima maklumat dari Alam Malakut. Hati yang kacau itu boleh distabilkan dengan cara menundukkan semua anasir dan unsur tadi kepada syariat. Syariat menjadi tali yang dapat mengikat musuh-musuh yang cuba menawan hati. Penting bagi seorang murid yang menjalani jalan kerohanian menjadikan syariat sebagai payung yang mengharmonikan perjalanan anasir-anasir dan daya-daya yang menyerap ke dalam diri agar cermin hatinya bebas daripada gambar-gambar alam maya. Bila cermin hati sudah bebas daripada gambar-gambar dan tarikan tersebut, hati dapat menghadap ke Hadrat Ilahi.
Selain tarikan benda-benda alam, hati boleh juga tunduk kepada syahwat. Syahwat bukan sahaja rangsangan hawa nafsu yang rendah. Semua bentuk kehendak diri sendiri yang berlawanan dengan kehendak Allah s.w.t adalah syahwat. Kerja syahwat adalah mengajak manusia supaya lari dari hukum dan peraturan Allah s.w.t serta membangkang takdir Ilahi. Syahwat membuat manusia tidak reda dengan keputusan Allah s.w.t. Seseorang yang mahu menuju Allah s.w.t perlulah melepaskan dirinya dari belenggu syahwat dan kehendak diri sendiri, lalu masuk ke dalam benteng aslim iaitu berserah diri kepada Allah s.w.t dan reda dengan takdir-Nya.

Perkara seterusnya yang yang diperkatakan sebagai ilmu hikmatialah junubbatin tidak suci dan dilarang melakukan ibadat atau memasuki masjid. Orang yang berjunub batin pula tertegah dari memasuki Hadrat Ilahi. Orang yang di dalam junub batin iaitu lalai hati, kedudukannya seperti orang yang berjunub zahir, di mana amal ibadatnya tidak diterima. Allah s.w.t mengancam untuk mencampakkan orang yang bersembahyang dengan lalai (dalam keadaan berjunub batin) ke dalam neraka wil. Begitu hebat sekali ancaman Allah s.w.t kepada orang yang menghadap-Nya dengan hati yang lalai.
Mengapa begitu hebat sekali ancaman Allah s.w.t kepada orang yang lalai? Bayangkan hati itu berupa dan berbentuk seperti rupa dan bentuk kita yang zahir. Hati yang khusyuk adalah umpama orang yang menghadap Allah s.w.t dengan mukanya, duduk dengan tertib, bercakap dengan sopan santun dan tidak berani mengangkat kepala di hadapan Maharaja Yang Maha Agung. Hati yang lalai pula adalah umpama orang yang menghadap dengan belakangnya, duduk secara biadab, bertutur kata tidak tentu hujung pangkal dan kelakuannya sangat tidak bersopan. Perbuatan demikian adalah satu penghinaan terhadap martabat ketuhanan Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Jika raja didunia murka dengan perbuatan demikian maka Raja kepada sekalian raja-raja lebih berhak melemparkan kemurkaan-Nya kepada hamba yang biadab itu dan layaklah jika si hamba yang demikian dicampakkan ke dalam neraka wil. Hanya hamba yang khusyuk, yang tahu bersopan santun di hadapan Tuhannya dan mengagungkan Tuhannya yang layak masuk ke Hadrat-Nya, sementara hamba yang lalai, tidak tahu bersopan santun tidak layak mendekati-Nya

Perkara yang ke empat adalah dosa-dosa yang belum ditebus dengan taubat. Ia menghalang seseorang daripada memahami rahsia-rahsia yang halus-halus. Pintu kepada Perbendaharaan Allah s.w.t yang tersembunyi adalah taubat! Orang yang telah menyuci-bersihkan hatinya hanya mampu berdiri di luar pintu Rahsia Allah s.w.t selagi dia belum bertaubat, samalah seperti orang yang mati syahid yang belum menjelaskan hutangnya terpaksa menunggu di luar syurga. Jika dia mahu masuk ke dalam Perbendaharaan Allah s.w.t yang tersembunyi yang mengandungi rahsia yang halus-halus wajiblah bertaubat. Taubat itu sendiri merupakan rahsia yang halus. Orang yang tidak memahami rahsia taubat tidak akan mengerti mengapa Rasulullah s.a.w yang tidak pernah melakukan dosa masih juga memohon keampunan sedangkan sekalipun baginda s.a.w berdosa semuanya diampunkan Allah s.w.t. Adakah Rasulullah s.a.w tidak yakin bahawa Allah s.w.t mengampunkan semua dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan baginda s.a.w (jika ada)?
Maksud taubat ialah kembali, iaitu kembali kepada Allah s.w.t. Orang yang melakukan dosa tercampak jauh daripada Allah s.w.t. Walaupun orang ini sudah berhenti melakukan dosa malah dia sudah melakukan amal ibadat dengan banyaknya namun, tanpa taubat dia tetap tinggal berjauhan dari Allah s.w.t. Dia telah masuk ke dalam golongan hamba yang melakukan amal salih tetapi yang berjauhan bukan berdekatan dengan Allah s.w.t. Taubat yang lebih halus ialah pengayatan kalimat:
"Laa Hau la wala quwata illa billah."
Tiada daya dan upaya melainkan anugerah Allah s.w.t.
"Inna Lillillahi wa-inna ilai-irajiun"
Kami datang dari Allah s.w.t dan kepada Allah s.w.t kami kembali.
Segala sesuatu datangnya dari Allah s.w.t, baik kehendak mahupun perbuatan kita. Sumber yang mendatangkan segala sesuatu adalah Uluhiyah (Tuhan) dan yang menerimanya adalah ubudiyah (hamba). Apa sahaja yang dari Uluhiyah adalah sempurna dan apa sahaja yang terbit dari ubudiyah adalah tidak sempurna. Uluhiyah membekalkan kesempurnaan tetapi ubudiyah tidak dapat melaksanakan kesempurnaan itu. Jadi, ubudiyah berkewajipan mengembalikan kesempurnaan itu kepada Uluhiyah dengan memohon keampunan dan bertaubat sebagai menampung kecacatan. Segala urusan dikembalikan kepada Allah s.w.t. Semakin tinggi makrifat seseorang hamba semakin kuat ubudiyahnya dan semakin kerap dia memohon keampunan dari Allah s.w.t, mengembalikan setiap urusan kepada Allah s.w.t, sumber datangnya segala urusan.
Apabila hamba mengembalikan urusannya kepada Allah s.w.t maka Allah s.w.t sendiri yang akan mengajarkan Ilmu-Nya yang halus-halus agar kehendak hamba itu bersesuaian dengan Iradat Allah s.w.t, kuasa hamba sesuai dengan Kudrat Allah s.w.t, hidup hamba sesuai dengan Hayat Allah s.w.t dan pengetahuan hamba sesuai dengan Ilmu Allah s.w.t, dengan itu jadilah hamba mendengar kerana Sama' Allah s.w.t, melihat kerana Basar Allah s.w.t dan berkata-kata kerana Kalam Allah s.w.t. Apabila semuanya berkumpul pada seorang hamba maka jadilah hamba itu Insan Sirullah (Rahsia Allah s.w.t).


MAHA SUCI ALLAH YANG MENUTUPI RAHSIA KEISTIMEWAAN (PARA WALI) DENGAN DIPERLIHATKAN SIFAT KEMANUSIAAN BIASA KEPADA ORANG RAMAI DAN TERNYATA KEBESARAN KETUHANAN ALLAH S.W.T DALAM MEMPERLIHATKAN SIFAT KEHAMBAAN (PADA PARA WALI-NYA).

Orang yang jahil dan lemah imannya mudah terlintas sangkaan apabila berhadapan kejadian yang luar biasa yang terzahir daripada seseorang manusia. Nabi Ia a.s dilahirkan secara luar biasa, dan padanya terzahir mukjizat yang luar biasa, menyebabkan segolongan manusia menganggap beliau a.s sebagai anak Tuhan. Uzair yang ditidurkan oleh Allah s.w.t selama seratus tahun dan dijagakan di kalangan generasi yang sudah melupai Kitab Taurat, lalu Uzair membacakan isi Kitab Taurat dengan lancar. Orang ramai pun menganggap Uzair sebagai luar biasa, lalu mengangkatnya sebagai anak Tuhan. Orang ramai sering mengagungkan manusia yang memiliki kebolehan yang luar biasa. Kadang-kadang cara pengagungan itu sangat keterlaluan sehingga orang yang diagungkan itu didudukkan pada taraf yang melebihi taraf manusia. Selain dianggap sebagai anak Tuhan, ada juga yang dianggap sebagai penjelmaan Tuhan. Timbul juga penabalan sebagai Imam Mahadi yang dijanjikan Tuhan. Kesan pemujaan sesama manusia banyak terdapat pada lembaran sejarah. Pemujaan yang demikian disifatkan Allah s.w.t sebagai mempertuhankan makhluk. Perkara ini berlaku kerana salah mentafsirkan kejadian luar biasa yang terzahir pada orang berkenaan, walaupun mereka tidak meminta diagungkan. Perkara luar biasa yang terjadi pada nabi-nabi dinamakan mukjizat dan yang terjadi pada wali-wali dinamakan keramat. Mukjizat menjadi sebahagian daripada bukti atau hujah kepada orang ramai tentang kebenaran kenabian. Fungsi utama mukjizat adalah memperkuatkan keyakinan orang ramai kepada seseorang nabi itu. Sesuai dengan fungsinya mukjizat berlaku secara terbuka dan diketahui umum. Keramat pula merupakan kurniaan khusus kepada para wali. Tujuan utamanya adalah untuk menambahkan keyakinan wali itu sendiri. Ia bukan bertujuan untuk membuktikan kedudukan wali itu kepada orang ramai. Kekeramatan banyak berlaku pada zaman akhir ini, jarang berlaku pada zaman Rasulullah s.a.w dan para sahabat, sedangkan para sahabat baginda s.a.w adalah aulia Allah yang agung. Sebahagian daripada mereka telah pun diistiharkan sebagai ahli syurga ketika mereka masih hidup lagi. Mereka sudah memiliki iman yang sangat teguh, tidak perlu kepada kekeramatan untuk menguatkannya. Jaminan syurga yang diberikan oleh Rasulullah s.a.w tidak membuat mereka mengurangkan khidmat bakti mereka kepada Allah s.w.t. Umat yang akhir ini tidak memiliki hati sebagaimana umat pada zaman Rasulullah s.a.w. Umat zaman akhir ini memerlukan kekeramatan sebagai penawar yang menguatkan hati mereka. Oleh sebab kekeramatan itu lebih berguna untuk diri sendiri, maka ia lebih banyak berlaku secara tersembunyi, hanya sebilangan kecil yang menyaksikannya atau kadang-kadang tidak ada yang melihatnya. Sifat kewalian dizahirkan kepada wali Allah itu sendiri sedangkan kepada orang ramai dizahirkan sifat manusia biasa, hinggakan orang ramai tidak mengetahui kedudukannya yang sebenar. Dengan demikian seseorang wali Allah itu diberi layanan sebagai manusia biasa. Dia perlu hidup dan menguruskan kehidupan seperti orang ramai. Perilakunya yang memakai sifat kemanusiaan biasa menjadi contoh kepada orang ramai, bagaimana mahu menjalani kehidupan di dunia dengan mentaati Allah s.w.t. Rasulullah s.a.w menjalani kehidupan sebagai manusia biasa di mana baginda s.a.w terpaksa mengikat perut dengan kain bagi menahan lapar, padahal dengan hanya berdoa kepada Allah s.w.t baginda s.a.w boleh menjadi kenyang tanpa makan. Para nabi dan para wali adalah manusia yang menjadi model untuk diikuti oleh orang ramai. Jika mereka hidup secara istimewa seperti bergerak secepat kilat dan kenyang tanpa makan, sudah tentu tidak ada manusia yang dapat mengikut mereka. Oleh itu apabila Allah s.w.t memakaikan sifat kehambaan seperti orang ramai kepada para nabi dan para wali-Nya itu adalah bagi kebaikan manusia umum. Orang ramai boleh mengikut contoh yang mudah dan tidak timbul pemujaan sesama manusia yang boleh membawa kepada syirik.