Selasa, 13 Oktober 2015

Tasawuf, Tarekat dan Islamisasi Di Indonesia (Bagian Ketiga)

PARA SUFI NUSANTARA YANG MENGAJAR TAREKAT

Pada masa awal, pusat penting yang mempengaruhi perkembangan tarekat di Indonesia adalah India (Gujarat) yang dari tempat ini diduga Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1630) dan Nuruddin al-Raniri belajar mendapatkan ijazah serta menjadi khalifah. Namun, pada abad-abad berikutnya berbagai cabang India dan beberapa tarekat besar sampai ke Indonesia melalui jalur Makkah dan Madinah. Melalui cara ini pula Tarekat Syattariyah yang berasal dari India berkembang di Makkah dan Madinah dan kemudian berpengaruh Luas di Indonesia.
Sufi pertama Indonesia yang karangannya tentang tarekat sampai kepada kita sekarang adalah Hamzah Fansuri. Dan namanya dapat diketahui bahwa beliau berasal dan Fansur (sebutan orang Arab untuk kota Barus, sekarang kota kecil di pantai barat Sumatera, terletak antara Sibolga dan Singkel). Dalam bidang sufi ia mengungkapkan gagasan-gagasannya melalui syair bercorak wahdat al-wujud, yang mendorong kepada penafsiran panteistik. Dalam syairnya dia juga bercerita tentang kunjungannya ke Makkah, al-Quds, Baghdad (di mana ia mengunjungi makam Abdul Qadir al-JilanI) dan Ayuthia. Di tempat terakhir dia menerima ijazah. Namun dalam syairnya disebutkan dia menerima ijazah di Baghdad dan berafiliasi dengan Tarekat Qadiriyah, bahkan pernah diangkat menjadi khalifah dalam tarekat ini. Dengan demikian Hamzah (wafat sekitar 1590) adalah orang Indonesia pertama yang kita ketahui secara pasti menganut Tarekat Qadiriyah.
Qadiriyah adalah tarekat pertama yang disebut dalam sumber-sumber pribumi. Di Jawa juga terdapat pengaruh Tarekat Qadiriyah, terutama di Direbon dan Banten. Menurut tradisi rakyat setempat, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pernah datang ke Jawa, bahkan mereka masih dapat menunjukkan kuburannya. Indikasi lain tentang pengaruh Qadiriyah di Banten adalah pembacaan kitab manaqib Abdul Qadir al-Jilani pada kesempatan tertentu di kehidupan beragama di sana.
Tarekat Syadziliyyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu Hasan al-Syadzili. Secara lengkap nama pendirinya adalah Ali bin Abdullah bin Abd. Al-Jabbar Abu Hasan al-Syadzili (w.1258). Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan mereka yang bergaris keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad Saw. Al-Syadzili sendiri pernah menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut: Ali bin Abdullah bin Abd. Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthal bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ciri utama tarekat ini pun masih dapat dirasakan hingga saat ini yaitu dengan variasi hizb-nya dan terutama hizb al-bahr yang dikenal sangat memberi pengaruh yang kuat bagi pengamalnya. Tokoh terkenal Syadziliyah lainnya yaitu Ibn ‘Afhaillah al-Iskandari (al-Sakandari), dan ‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani.
Sufi lain yang juga terkenal di Indonesia adalah Syamsuddin (w. 1630), murid Hamzah yang menulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Dia perumus ajaran martabat tujuh pertama di nusantara beserta pengaturan nafas pada waktu zikir (yang dianggap oleh Hamzah sebagai pengaruh yogi pranayama dari India). Ajaran martabat tujuh merupakan adaptasi dari teori emanasi Ibn al-‘Arabi yang tidak lama kemudian sangat populer di Indonesia. Ajaran ini berasal dari ulama besar asal Gujarat bernama Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri yang mengarang kitab Al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Ajaran martabat tujuh Syamsuddin termasuk ajaran wujudiyah yang oleh Nuruddin al-Raniri dalam kitabnya, Hujjatu al-Shiddiq lidaf’i al-Zindiq, dianggap sebagai ajaran wujudiyah yang menegakkan tauhid (al-muwahhidah), di samping ada ajaran wujudiyah yang dianggap menyimpang.
Burhanpuri berafiliasi kepada Tarekat Syattariyah, diduga Syamsuddin juga demikian karena tidak ada kepastian tentang hal ini dalam tulisan-tulisannya. Tarekat Syattariyah menjadi sangat populer di kalangan orang Islam Indonesia yang kembali dari Tanah Arab, sesudah kematiannya. Tidak diketahui secara jelas tahun kelahirannya, tetapi dalam kitab Bustan al-Salatin karya Nuruddin, tahun wafatnya disebutkan tahun 1039 H dan oleh A. Hasjmi disamakan dengan tahun 1630 M.
Nuruddin al-Raniri adalah sufi terkenal selanjutnya. Nama lengkapnya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid al-Raniry, berasal dari keluarga Arab Ranir (Rander) Gujarat. Tahun kelahirannya tidak diketahui, wafat tahun 1068/1658. Ibunya seorang Melayu, ayahnya imigran dari Hadrami. Tidak ada kejelasan kapan al-Raniry pertama kali menetap di wilayah Melayu, namun al-Raniry pernah menjabat Syaikh al-Islam atau mufti di kerajaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shafiatu al-Din.
Ia hidup di Aceh selama tujuh tahun (1637-1644) sebagai alim, mufti dan penulis produktif yang menentang doktrin wujudiyah. Ia mengeluarkan fatwa untuk memburu orang yang dianggap sesat, membunuh orang yang menolak bertobat dari kesesatan, serta membakar buku-buku yang berisi ajaran sesat. Pada tahun 1054/1644 al-Raniry meninggalkan Aceh kembali ke Ranir karena mendapatkan serangan balik dari lawan-lawan polemiknya yang tajam dan murid Syamsuddin yang dituduh menganut paham panteisme.
Al-Raniry memiliki banyak keahlian sebagai sufi, teolog, fiqh, ahli hadits, sejarawan, ahli perbandingan agama, dan politisi. Ia seorang khalifah Tarekat Rifa’iyah dan menyebarkan ajaran tarekat ini ke wilayah Melayu. Di samping itu, ia juga menganut tarekat Aydarusiyah dan Qadiriyah. Ia banyak menulis masalah kalam dan tasawuf, menganut aliran Asy’ariyah, dan menganut paham wahdat al-wujud yang moderat.
Al-Raniry merupakan tokoh terakhir yang terdokumentasi sebagai pengaruh langsung tarekat yang berkembang di Indonesia dari India. Sepeninggalnya, cabang-cabang tarekat dari India berkembang dulu di Makkah-Madinah baru kemudian dibawa ke Indonesia, di antaranya adalah Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh Abdul Rauf Singkel.
Abdul Rauf beIajar ke Makkah-Madinah selama 19 tahun dengan para guru besar aI-Qusyasyi, Ibrahim al-Kurani, serta putranya Muhammad Thahir di Madinah. Sekembalinya dari Makkah tahun 1661, ia menjadi ahli fiqh terkenal di Aceh serta seorang sufi yang mencari keseimbangan antara berbagai pandangan para pendahulunya dengan mengajarkan zikir dan wirid Syattariyah. Muridnya menyebarkan tarekat ini ke Sumatra Barat melalui Burhanuddin Ulakan, serta ke Jawa melalui Muhyidin dan Pamijahan yang sampai sekarang ajarannya masih diamalkan di pedesaan.
Al-Qusyasyi (w. 1660) dan al-Kurani (w. 1691) mewakili sintesa antara tradisi intelektual sufi India dan Mesir. Mereka adalah pewaris keulamaan Zakariya al-Anshari dan ‘Abd al-Wahab aI-Sya’ranI dalam bidang fiqh dan tasawuf, sekaligus mereka berbaiat menjadi pengikut sejumlah tarekat India, yang paling berpengaruh, di antaranya Tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah. Kedua tarekat ini pada mulanya diperkenalkan di Madinah oleh seorang Syaikh India pada tahun 1605 bernama Sibghatullah.
Di antara tarekat yang diajarkan al-Qusyasyi dan al-Kurani, Tarekat Syattariyah banyak menarik murid-murid Indonesia, padahal di Timur Tengah kedua syaikh ini lebih dikenal sebagai penganut Tarekat Naqsyabandiyah. Keduanya merupakan ulama paling terkenal di kalangan murid yang berasal dari Indonesia. Selama beberapa generasi murid-murid Indonesia belajar kepada pengganti al-Kurani dan berbaiat menjadi pengikut Tarekat Syattriyah, kadang-kadang dipadukan dengan tarekat lain. Tarekat Syattariyah sendiri relatif mudah berpadu dengan berbagai tradisi nusantara sehingga menjadi tarekat yang paling “mem-pribumi”. Pada sisi lain melalui Syattariyah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.
Salah seorang ulama yang sezaman dengan Abdul Rauf adalah Yusuf al-Makassari (1626-1699) yang menulis tentang Tarekat Naqsyabandiyah di bawah judul Al-Risalah al-Naqsyabandiyah. Risalah ini memberi kesan bahwa al-Makassari benar-benar mengajarkan tarekat ini. Naskah antara lain berisi teknik-teknik meditasi dan ketentuan-ketentuan zikir sehingga tarekat ini menjadi tarekat yang pertama terkenal secara luas. Tarekat ini sudah ada di Indonesia dua abad sebelum Belanda mengenalnya untuk pertama kali. Ulama dan sufi Indonesia yang pertama sekali menyebut tarekat dalam tulisannya adalah Syaikh Yusuf al-Makassari.
Al-Makassari mempelajari Tarekat Naqsyabandiyah di Yaman melalui Syaikh Arab bernama Muhammad Abdul Baqi, walaupun kemudian belajar dan berguru lagi kepada tokoh Naqsyabandi terkenal lainnya di Madinah bernama Ibrahim al-Kurani (guru ini di Indonesia lebih terkenal sebagai seorang syaikh Tarekat Syattariyah yang mengirim Abdul Rauf Singkel sebagai khalifah untuk menyebarkan Tarekat Syattariyah di Indonesia). Selanjutnya ketika al-Makassari belajar di Damaskus, ia berguru dan berbaiat menjadi khalifah Tarekat Khalwatiyah dan mendapat ijazah untuk mengajar tarekat ini. Namun tarekat ini nanti hanya disebarkan kepada suku Makassar saja, sehingga secara etnis tarekat ini dikaitkan dengan suku ini. Barangkali dialah orang pertama yang memperkenalkan Tarekat Khalwatiyah di Indonesia. Di Sulawesi tarekat ini dihubungkan dengan namanya melalui “Si buta” yang merupakan salah seorang muridnya bernama Abdul Basir al-Dharir al-Khalwati yang lebih terkenal dengan nama Tuang Rappang I Wodi.
Syaikh Yusuf al-Makassari sebenarnya dibaiat oleh sejumlah tarekat dan memperoleh ijazah untuk mengajarkan Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Syattariyah, Ba’alawiyah, Khalwatiyah, juga mengaku pernah menjadi pengikut Tarekat Dasuqiyah, Syadziliyah, Chistiyah, ‘Aydarusiyah, Ahmadiyah, Kubrawiyah dan beberapa tarekat kurang terkenal lainnya. Ketika pulang ke Indonesia tahun 1670 dia mengajarkan ajaran spiritual yang dia sebut Khalwatiyah yang ternyata merupakan gabungan berbagai teknik spiritual Khalwatiyah dengan berbagai teknik yang dipilih dari tarekat-tarekat lainnya. Tarekat Khalwatiyah Yusuf ini sekarang mengakar di Sulawesi Selatan, terutama di kalangan para bangsawan Makassar.
Hampir satu abad kemudian orang Indonesia yang bermukim di Arab tertarik kepada ajaran Muhammad bin Abdul Karim al-Samman (w. 1775) di Madinah, pendiri Tarekat Sammaniyah yang merupakan gabungan Tarekat-tarekat Khalwatiyah, Qadiriyah dan Naqsyabandiyah dengan tarekat Afrika Utara Syadziliyah. Ia mengembangkan cara berzikir baru yang ekstatik dan menyusun sebuah ratib (bacaan yang mengandung doa-do’a dari ayat al-Qur’an) sendiri. Secara formal tarekat ini merupakan salah satu cabang Tarekat Khalwatiyah, dalam arti silsilah Samman hanya menyebut afiliasi Khalwatiyahnya melalui gurunya Musthafa al-Bakri, namun ia telah menjadi sebuah tarekat tersendiri, dengan zawiyah sendiri, dengan kelompok pengikut lokal ketika sang syaikh masih hidup. Murid Indonesia al-Samman yang paling terkenal adalah Abdul Shamad al-Palimbani, pengarang sejumlah kitab penting berbahasa Melayu. Beberapa ulama Palembang lainnya berafiliasi dengan tarekat ini sehingga tarekat ini mendapat kedudukan yang kokoh di kesultanan Palembang di mana Sultan Palembang menyediakan sejumlah dana untuk membangun zawiyah Samman di Jeddah.
Orang Indonesia yang bermukim di Arab sesudah syaikh Samman wafat belajar ke khalifahnya yang bernama Shiddiq bin Umar Khan. Salah seorang yang menyebarkan tarekat ini ke Indonesia adalah Nafis al-Banjari yang menulis karyanya al-Durr al-Nafis dalam bahasa Melayu, dan menyebarkan tarekat ini di Kalimantan. Nafis al-Banjari diketahui juga menganut berbagai tarekat lain seperti Qadiriyah, Syattariyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah dan Sammaniyah. 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar