KODIFIKASI HADITS PADA ABAD KE II HIJRIYAH
Keberadaan
hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki sejarah
perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-kodifikasi,
zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H.
Perkembangan
hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi
untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan
tercampurnya nash al-Qur'an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus
Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur'an. Larangan
tersebut berlanjut sampai pada masa Tabi'in Besar. Bahkan Khalifah Umar ibn
Khattab sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan Khalifah yang
lain. Untuk menjaga keutuhan dan keaslian Hadits Nabi maka kholifah Umar bin
Abdul Aziz memprakarsai pentadwidan Hadits, dengan alasan beliau khawatir kalu
hadits tidak dibukukan maka Hadits dapat menghilang dengan begitu saja padahal
Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Alqur’an. Periodisasi penulisan dan
pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn
Abd al-Aziz (abad 2 H).
Terlepas
dari naik-turunnya perkembangan hadits, tak dapat dinafikan bahwa sejarah
perkembangan hadits memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban
Islam.
1. Latar Belakang Kodifikasi (Tadwin)
Hadits
Pembukuan hadits dimulai pada akhir
abad pertama Hijriah, dan rampung pada pertengahan abad ketiga. Hal ini tidak
lepas dari adanya dorongan pembukuan hadits oleh Khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd
al-’Aziz (w. 102 H.) dari Bani Umayyah. Pada waktu itu Umar Bin Abdul Aziz
(Khalifah ke-8 Bani Umayyah) yang naik tahta pada tahun 99 H berkuasa. Beliau
ini dikenal sebagai orang yang adil dan wara’ bahkan sebagian ulama
menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-5, tergeraklah hatinya untuk
membukukan hadits dengan motif :
· Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum
dibukukan dengan baik.
· Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu (maudhu’)
yang banyak beredar.
· Al-Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak
ada lagi kekhawatiran tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.
· Peperangan dalam penaklukan negeri negeri yang
belum Islam dan peperangan antar sesama kaum Muslimin banyak terjadi,
dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena wafat dalam peperangan – peperangan
tersebut.
Secara garis besar peran pemalsuan Hadits dikategorikan menjadi
3 yaitu:
a. Propagandis Politik
Perpecahan umat islam yang diakibatkan politik yang
terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib memiliki pengaruh yang sangat
besar terhadap perpecahan umat kedalam beberapa golongan dan kemunculan
hadits-hadits palsu. Contoh Hadits palsu yang dibuat oleh kaum Syi’ah, yang
artinya sebagai berikut:”Wahai Ali, Sesungguhnya Allah SWT telah
mengampunimu, keturunanmu, kedua
orangtuamu, keluargamu, (golongan) syi’ahmu dan orang yang mencintai (golongan)
syi’ahmu”.
b. Golongan Zindiq
Adalah golongan
yang membenci Islam sebagai agama, atau sebagai dasar pemerintahan. Pada masa
Muhammad bin Sulaiman bin Ali (Wali wilayah Basrah), menghukum mati Abdul Karim
Ibn Auja’ karena dia membuat hadits palsu, ketika hukuman akan dilakukan
dia mengatakan bahwa dia telah membuat
hadits palsu sebanyak 4000 hadits. Contoh Hadits yang dibuat oleh kaum zindiq, yang
artinya sebagai berikut:
“Melihat wajah cantik termasuk ibadah”.
c. Ahli Cerita/Dongeng
Menurut
riwayat Ibn Aljawji, Shu’bah pernah menolak Hadits yang dibawa oleh tukang
cerita dengan alasan kebiasaan mereka, yaitu menerima Hadits sejengakal
kemudian diriwayatkan sedepa, dengan pengertian memberikan penambahan terhadap
Hadits.
Sufyan Al-Sauri mencatat tiga macam Hadits dengan penilaian yang
berbeda-beda yaitu:
1) Hadits yang dimaksud sebagai
pegangan,yang tentunya Hadits yang dinilai kuat.
2) Hadits yang
diragukan, sehingga dinilai tawaqquf, tidak dibuang tetapi juga tidak dijadikan
pegangan.
3) Hadits dari rawi yang
lemah,hanya untuk diketahui saja.
Dengan alasan demikian maka khalifah Umar bin Abdul
Aziz mengambil keputusan untuk mengirim surat kepada penduduk Madinah yang
banyak menghafal hadits, dan mendorong umat islam untuk ikut serta dalam
mendiskusikan haditssertamengirim
surat ke Gubernur Madinah Abu Bakr Muhammad bin Amr bin Hazm. Kepada Gubernur
Madinah beliau memberi perintah yang berbunyi “perhatikan atau periksalah
hadits-hadits Rasul SAW kemudian tuliskanlah ! aku khawatir akan lenyapnya ilmu
dengan meninggalnya para ulama’. Dan janganlah kamu terima kecuali hadits Rasul
SAW”. Perintah yang demikian juga ditujukan kepada Muhammad Ibn Syihab Al Zuhri
yang beliau anggap sebagai orang yang banyak mengetahui tentang hadits Nabi.
Beliau adalah guru Malik, Al-Auza’I, Ma’mar, Al-Laits, Ibn Ishaq dan Ibn Abi
Dzi’bin. Mereka inilah yang membukukan hadits atas anjuran khalifah. Kitab
Hadits yang ditulis oleh Ibn Hazm merupakan kitab hadits pertama yang ditulis
atas perintah kepala negara, tidak sampai kepada kita. Pembukuan seluruh Hadits
yang berada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab
Az-Zuhri
Dari sudut analisa politik, tindakan ‘Umar II ini
adalah untuk menemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran
bagi ideologi Jama’ah-nya, yang dengan ideologi itu ia ingin
merangkul seluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik
atau pemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi’ah dan Khawarij yang
merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah. ‘Umar II melihat bahwa sikap yang
serba akomodatif pada semua kaum muslim tanpa
memandang aliran politik atau paham keagamaan khasnya itu telah
diberikan contohnya oleh penduduk Madinah, di bawah ke kepeloporan
tokoh-tokohnya seperti ‘Abdullah ibn ‘Umar (Ibn al-Khaththab), ‘Abdullah Ibn
‘Abbas dan ‘Abdullah Ibn Mas’ud.
Mushthafa al-Siba’i
dalam majalah Al-Muslimin seperti yang dikutip Nurcholis Madjid amat
menghargai kebijakan ‘Umar II berkenaan dengan pembukaan sunnah itu, sekalipun
ia menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak memberi angin pada
kaum Syi’ah dan Khawarij (karena, dalam pandangan al-Siba’i, golongan oposisi
itu kemudian mampu memobilisasi diri sehingga, dalam kolaborasinya dengan kaum
Abbasi, mereka akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti Umayyah dan melaksanakan
pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan menurut al-Siba’i,
sebelum masa‘Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha – usaha pribadi untuk
mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd Allah Ibn ‘Amr Ibn al -’Ash.
2. Kodifikasi Hadits Abad II H
Masa ini disebut juga masa penyempurnaan. Pada masa ini, terdapat banyak
perbedaan bila dibanding masa sebelumnya. Ilmu Hadits pada abad ini sudah mulai
digunakan dengan maksimal, sekalipun dalam batas persyaratan lisan dan belum
terbukukan secara sempurna.[1] Masa ini juga disebut masa
pengkodifikasian Hadits (al-jam’u wa
at-tadwin).[2]
Selain itu, kondisi masyarakat juga mengalami perubahan, khususnya yang
terkait dengan periwayatan Hadits. Perubahan itu nampak dalam beberapa hal sebagai berikut.
a.
Bila zaman Sahabat hafalan
masih relatif kuat, pada masa ini kekuatan hafalan sudah mulai memudar. Hal itu
disebabkan oleh banyaknya perawi Hadits dari kalangan Sahabat yang berhijrah
keluar jazirah Arabiyah dan menetap di luar hingga kawin dan berketurunan di
sana. Masyarakat di luar jazirah tidak memiliki tradisi menghafal layaknya
masyarakat Arab. Lambat laun generasi yang muncul tidak mampu memaksimalkan
daya hafalnya. Selain itu, kemampuan menulis sudah mereka miliki, sehingga oleh
sebagian masyarakat menulis dirasa “lebih praktis” daripada menghafal.
b.
Sanad Hadits mulai memanjang
dan bercabang. Hal itu disebabkan juga oleh terpencarnya para perawi Hadits ke
daerah-daerah yang berjauhan, sehingga untuk mendapatkan sebuah Hadits harus
melalui periwayatan beberapa perawi yang sekali lagi hal ini menyebabkan sanad
menjadi panjang yang pada gilirannya berdampak pada kualitas Hadits.
c. Banyak sekte bermunculan. Bermunculannya banyak sekte dan aliran yang
menyimpan dari jalur yang dianut oleh para Sahabat berdampak pada keotentikan
Hadits. Munculnya Hadits-hasits palsu sebagianny juga disebabkan oleh faktor Aini. Ada sekte khawarij, mu’tazilah, jabariyah dan lain
sebagainya.[3]
Sebagian
besar ahli hadits berpedapat bahwa
perintah resmi untuk menuliskan hadits
muncul pada masa Umar bin Abdul Azis (w. 720 M) yang menjadi khalifah
pada masa Bani Ummayah (717-720 M). Tetapi dalam kitab Tabaqat Ibn Sa’d, Tahzib
at-Tahzib dan Tazkirat al-Huffaz disebutkan bahwa pengumplan hadits sudah dimulai terlebih dahulu oleh ayah Umar
bin Abdul Azizi yaitu Abdul Aziz bin Marwan bin Hakkam (w 704 M), yang menjabat
Gubernur di Mesir. Yang memerintahkan kepada Kasir bin Murrah al-Hadrami (w.
688 M) untuk mengumpulkan hadits Rasul
saw. Ini berarti bahwa Umar bin Abdul Aziz meneruskan usaha bapaknya yang
berkuasa di Mesir tahun 684–704 M. Namun data kongkrit hasil karya ulama yang
diperintahkan ayah Umar bin Adul Aziz tidak sampai ke kita.
Pembukuan
hadits pada periode ini belum disusun
secara sistematis dan tidak berdasarkan pada urutan bab-bab pembahasan ilmu.
Upaya pembukuan hadits setelah Az-Zuhri
dilakukan secara berbeda-beda yang masih mencampurkan perkataan sahabat dan fatwa
tabi’in. Ada seorang ulama’ yang berhasil menyusun kitab tadwin, yang sampai
kepada kita sekarang, yaitu Malik bin Anas (93-179 H) di Madinah, dengan
kitabnya Al-Muwaththa’. Kitab tersebut disusun tahun 143 H
atas permintaan Khalifah Al-Mansur.
Yang kemudian diikuti oleh
ulama’-ulama’ seperti Muhammad bin Ishaq (w 151 H), Ibnu Abi Zi’bin (80-158 H)
di Madinah. Ibnu Juraij (80-150 H) di Makkah; Al-Rabi’ Ibn Sabih (w 160 H),
Hammad Ibnu Salamah (w 176 H) di Basrah. Syufyan At-Tsaury (79-161 H) di Kuffah
; Al-Auza’I (88-157 H) di Syam; Ma’mar bin Rasyid (93-153 H) di Yamman ; Ibn
al-Mubarrak 118-181 H) di Khurasan dan Jarir bin Abd Al-Hamid (110-188 H).
Akan tetapi
penulisan penulisan hadits pada zaman tabi’in ini masih bercampur antara sabda
Rasul saw, fatwa sahabat serta tabi’in. Seperti di dalam kumpulan hadits al-Muwatta’ karya
Malik bin Anas , kitab ini tidak hanya memuat hadits Rasul saw saja tetapi juga memuat ucapan
sahabat atau tabi’in bahkan tidak sedikit yang berupa pendapat Malik
sendiri atau praktek ulama’ dan masyarakat Madinah. Akan tetapi Asy
Syafi’i memberi pujian kepada Malik bin Anas “kitab shahih setelah Al-Qur’an
ialah Al Muwwata’.
3. Ciri – ciri
Pentadwinan tadwin hadits pada abad ke 2 H
Ada beberapa hal yamg menjadi
ciri – ciri proses pengkodifikasian hadits yang ditulis pada periode ini :
a)
Umumnya
menghimpun dari hadits Rasul SAW serta fatwa sahabat dan tabi’in.
b)
Himpunan
Hadits masih bercampur aduk antara beberapa topikyang ada
c)
Belum
dijumpai upaya pengklasifikasian antara hadits shahih, hadits hasan dan hadits
Dhaif.
4. Kitab – kitab
hadits Abad Ke 2 H
Setelah itu
penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh banyak ulama abad ke-2 H, yang
terkenal diantaranya :
a)
Al –
Muwaththa oleh Imam Malik Anas ( 93 – 179 H ). Selama rentang waktu ini,sejumlah
buku hadîts telah disusunnya. Kitab ini memiliki kedudukan tersendiri pada
periode ini.Buku ini ditulis antara tahun 130H ampai 141H. Buku ini memiliki
kurang lebih 1.720 hadits ,dimana :
• 600
hadîtsnya marfu’ (terangkat sampai kepada Nabi SAW ).
• 222
hadîtsnya mursal (adanya perawi sahabat yang digugurkan).
• 617
hadîtsnya mauquf (terhenti ampai kepada tâbi ’în).
• 275
sisanya adalah ucapan tâbi ’in.
b)
Al-Musnad
oleh Imam Abu Hanifah an-Nu’man (wafat 150 H).
c)
Al-Musnad
oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi’I (150 – 204 H).
d)
Mukhtaliful
Hadits oleh Muh, bin Idris asy-Syafi’I (150 – 204 H).
e)
Al-Musnad
oleh Imam Ali Ridha al-Katsin (148 – 203).
f)
Al-Jami’
oleh Abdulrazaq al-Hamam ash Shan’ani (wafat 311 H ).
g)
Mushannaf
oleh Imam Syu’bah bin Jajaj ( 80 – 180 H ).
h)
Mushannaf
oleh Imam Laits bin Sa’ud (94 – 175 H).
i)
Mushannaf
oleh Imam Sufyan bin ‘Uyaina (107 – 190 H ).
j)
As-Sunnah
oleh Imam Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i ( wafat 157 H ).
k)
As-Sunnah
oleh Imam Abd bin Zubair bin Isa al-Asadi.
Seluruh kitab-kitab hadits yang ada pada abad ini
tidak sampai kepada kita kecuali 5 buah saja yaitu nomor 1 sampai dengan 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar