Da iantara praktik spiritual yang diadopsi oleh Tarekat Qadiriyah adalah zikir (terutama dalam melantunkan asma Allah berulang-ulang).
Dalam pelaksanaannya terdapat berbagai tingkatan penekanan dan
intensitas. Ada zikir yang terdiri atas astu, dua, tiga dan empat. Zikir
dengan satu gerakan dilaksanakan dengan mengulang-ulang asma Allah melalui
tarikan napas panjang yang kuat, sekan dihela dari tempt yang tinggi,
diikuti penekanan dari jantung dan tenggorokan, kemudian dihentikan
sehingga napas kembali normal. Hal ini harus diulang secara konsisten
untuk waktu yang lama.[1]
Zikir dengan dua gerakan dilakukan dengan duduk dalam posisi sholat, kemudian melantunkan asma Allah di
dada sebelah kanan, lalu di jantung, dan kesemuanya dilakukan
berulang-ulang dengan intensitas tinggi. Hal ini dianggap epektif untuk
meningkatkan konsentrasi dan meng-hilangkan rasa gelisah dan pikiran
yang kacau. Zikir dengan tiga gerakan dilakukan dengan duduk bersila dan
mengulang pembacaan asma Allah di bagian dada sebelah kanan,
kemudian di sebelah kiri, dan akhirnya di jantung. Kesemuanya ini
dilakukann dengan intensitas yang lebih tiggi dan pengulangan yang lebih
sering. Sementara itu, zikir empat gerakan dilakukan dengan duduk
bersila, dengan mengucapkan asma Allah berulang-ulang di dada
sebelah kanan, kemudian di sebelah kiri, lalu ditarik ke arah jantung,
dan terakhir dibaca di depan dada. Cara terakhir ini diharapkan dapat
dilakukan lebih kuat dan lebih lama.
Praktik
zikir ini dapat dilakukan bersama-sama, dibaca dengan suara keras atau
perlahan, sambil duduk membentuk lingkaran setelah sholat, pada waktu
subuh maupun malam hari. Jika seorang pengikut sanggup melantunkan asma Allah empaat
ribu kali setiap harinya, tanpa putus selama dua bulan, dapat
diharapakan dirinya telah memiliki kualifikasi untuk meraup pengalaman
spiritual tertentu.
Setelah melakukan zikir, tarekat menganjurkan untuk melakukan apa yang disebut sebagai pas-I anfas, yakni mengatur napas sedemikian rupa sehingga dalam proses menarik dan menghembuskan napas, asma Allah bersirkulasi dalam tubuh secara otomatis. Kemudian, ini diikuti dengan muraqabah
atau kontemplasi. Dianjurkan untuk berkonsentrasi padasejumlah ayat
al-Qur’an atau punn sifat-sifat Ilahiah tertentu hingga sungguh-sungguh
terserap ke dalam kontemplasi.[2]
Beberapa
praktik yang dikembangkan oleh pengikut dari generasi berikutnya
mengadopsi pengaruh likal dan tidak dapat dipahami dengan merujuk pada
ide dan anjuran autentik sang Wali. Contohnya, para pengikut Tarekat
Qadiriyyah di Afrika Utara sering disebut sebagai para gilani telah
mengembangkan praktik khalwat dengan aturan-aturan yang sangat
khusus. Alang-alang ditancapkan ditumpukan batu, para wanita
menyampirkan kain-kain di situ, kemudian bersin dan styrax disulut.
Baik pria maupun wanita melakukan jenis khalwat ini dan memohon agar
keinginan mereka terpenuhi.
Seiring
dengan timbulnya praktik yang tidak tepat tersebut, muncul pula
pengultusan secara berlebihan di anatara kelompok-kelompok ekstrim.
Untuk mempertahankan pandangannya, mereka mengulang ucapan Syaikh ‘Abd
al-Qadir Jilani, “seluruh berada di kakiku.” Padahal kata-kata
tersebut—saat diucapkan beliau merujuk pada suatu kondisi kebahagiaan
spiritual yang ekstrim, suatu ekspresi sang Syaikh, tanpa inpliksasi
lainnya. Namun, para pengagumnya dikemudian hari membuat tulisan untuk
membela posisinya demi memantapkan kkeunggulan posisinya di dalam
heirarki spiritual. Bahkan, ulama yang sangat kritisdan berhati-hati
sekalipun, semacam Syaikh ‘Abd al-Haqq Muhaddits dari Delhi, melukiskan
sang Syaikh dalam nuansa yang dipinjam dari hagiologi yang
dilebih-lebihkan tersebut. Kebesaran Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani
tidaklah bersandar pada keajaiban yang telah dilakukannya, tetapi pada
eksistensi kesadaran Ilahiah yang tumbuh dalam dirinya dan dedikasinya
untuk mengagungkan mistisisme Islam yang ideal, yakni menyadari
eksistensi Tuhan, menunjukan manusia pada jalan menuju-Nya, dan
menghidangkan kebahagiaan bagi hati-hati yang terluka dan jiwa-jiwa
yang gelisah.[3]
Zikir
adalah kunci dan sekaligus menempati posisi yang amat penting dalam
tradisi tarekat, termasuk Tarekat Qadiriyah kerena zikir bagaikan anak
kunci yang mampu membuka pintu gerbang dunia spiritual yang tidak
terbatas. Apabila pintu hati telah terbuka, muncullan dari dalamnya
pikiran-pikiran yang arif untuk membuka mata hati. Ketika mata hati
telah terbuka, maka tampaklah sifat-sifat Allah melalui mata hati itu.
Kemudian mata hati akan melihat refleksi (bayangan) kasih sayang,
kelembutan, keindahan, dan kebaikan Aallah, dalam cemin hati yang
bersih dan berkilauan.[4]
Membaca
zikir atau wirid asma Allah merupakan cara dalam pembersihan diri
untuk mencapai sifat Allah, yakni bersifat dengan sifat-sifatnya yang
mulia sehingga dapat mencapai derajat insan kamil.
Selama
perluasan dan penyebarannya, tariqt qadiriyah mengembangkan banyak
ritual dan wirid, khususnya ketika menyebar di Turki, Mesir, India,
dan Afrika. Sebagian merupakan ritual yang diajarkan oleh Sekh Abd.
Al-Qadir, dan sebagian lagi merupakan penambahan yang dialakukan
kemudian simbul-simbul terkadangn di adopsi untuk menggaris bawahi
keutamaan khusus dalam tarikat ini di daerah-daerah yang berbeda.
Qadiriyah Turki mengadopsi mawar hijau sebagai simbol mereka. Ketika
seorang calon murid akan diterima di tarekat, Syekh Qadiry menyampirkan
pada peti bulunya sebentuk mawar yang terdiri dari 18 bagian dengan
segel Sulaiman ditengahnya. Peti ini disebut Taj (mahkota), hal yang
amat didambakan kelompok mistik.
Tareqat
Qadiriyah Mesir mempergunakan surban putih dan panji-panji putih.
Sejumlah nelayan yang menjadi pengikut tarekat ini memmbawa jaring
galah beraneka warna tatkala mengikuti prosesi. Di Maroko, sejumlah
anggota tarekat Qadiriyah melantunkan zikir diiringi instrumen musik di
Zawiyah tatkala diambil sumpahnya. Tidak luput juga sejumlah
peninggalan Syekh Abd. Al-Qadir dikeramatkan dan dibawa keberbagai
wilayah. Para pengikut tarekat Qadiriyah percaya bahwa peninggalan
tersebut membawa cahaya kesucian dan menerangi daerah-daerah mereka.
Sebuah surban yang dipercaya merupakan milik Syekh kini terdapat di
daerah Ochh.
Adapun seseorang
yang akan memasuki tarekat Qadiriyah, disamping perlu mempersiapkan
pembersihan diri sejak awal, setidaknya dia harus menempuh dua fase,
yaitu.[5]
Fase
pertama diawali dan diakhiri dalam satu kali pertemuan. Jika
dikerjakan dengan sungguh-sungguh, memakan waktu tidak lebih dari
setengah jam. Fase ini memiliki beberapa tahapan, antara lain:
1.
Pertemuan pertama antara murid dan syekh. Dalam pertemuan ini
dilakukan beberapa keharusan, seperti perjanjian, taubat, permohonan
ampun kepada Allah, taat, dan zikir.
2.
Wasiat, berupa pesan-pesan syekh kepada sang murid untuk diamalkan.
pesan-pesan tersebut antara lain, menanggung derita, pemaaf, tidak
menyakiti saudara, bersungguh-sunguh mengekang hawa nafsu, menghindari
kedengkian, iri hati, dusta dan perbuatan-perbuatan keji lainnya.
Memelihara wudhu, beristigfar, dan mengucapkan shalawat Nabi.
3.
Bai`at, yang berarti sang murid diterima memasuki ajaran tarekat. Pada
saat ini syekh mengatakan: “Aku telah menerimamu sebagai murid, aku
telah membai`atmu atas penerimaan ini.
5. Segelas minuman untuk sang murid oleh Syekh dengan dibacakan pengalaman ayat Al-Qur`an
Kemudian syekh membaca surah
Al-Fatihah dan Al-Ikhlas 3X lalu Syekh memberikan gelas yang berisikan
minuman tadi untuk diminum sang murid.
Setelah
selesai fase pertama ini, sang murid telah menjadi anggota dan
berkewajiaban mengikuti ajaran syekh yang telah mengambil sumpah
darinya.
Fase kedua, sang murid memasuki tahapan perjalanan menuju
Allah dengan bantuan sekh untuk membimbing dan menyertainya selama
proses perjalanan. Fase ini dapat memakan waktu bertahun-tahun. Hal itu
akan berakhir ketika sedang murid telah nyata-nyata mandiri dari
bantuan gurunya, ia akan dianugerahi “ijazah” sebagai bukti keluhuran
jiwanya. Pada saat itulah ia diakui dan sah menjadi bagian dari para
syekh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar