Dalam
kafilah ruhani yang berjalan menuju Tuhan, kita melihat barisan yang
panjang. Mereka yang berada dalam barisan mempunyai martabat yang
bermacam-macam, bergantung pada sejauh mana mereka telah berjalan. Dari
tempat berangkat ke tujuan, ada sejumlah stasiun yang harus mereka
lewati. Derajat mereka juga bergantung pada banyaknya stasiun yang sudah
mereka singgahi. Pada setiap stasiun selalu ada pengalaman baru,
keadaan baru, dan pemandangan baru. angat sulit menceritakan pengalaman
pada stasiun tertentu kepada mereka yang belum mencapai stasiun itu.
Dalam
literatur tasawuf, stasiun itu disebut manzilah atau maqam. Pengalaman
ruhani yang mereka rasakan disebut hal. Ada segelintir orang yang
sudah mendekati stasiun terakhir. Mereka sudah sangat dekat dengan
Tuhan, tujuan terakhir perja1anan mereka. Maqam mereka sangat tinggi di
sisi Tuhan. Kelompok mereka disebut awliya’, kekasih-kekasih Tuhan.
Mereka telah dipenuhi cahaya Tuhan. Sekiranya kita menemukan mereka,
kita akan berteriak seperti teriakan orang munafik pada Hari Akhir,
“Tengoklah kami (sebentar saja) agar kami dapat memperoleh seberkas
cahayamu” (QS 57:13).
Dalam
kelompok awliya’ juga terdapat derajat yang bermacam- macam. Yang
paling rendah di antara mereka (tentu saja di antara orang-orang yang
tinggi) disebut awtad, tiang-tiang pancang. Disebut demikian karena
merekalah tiang-tiang yang menyangga kesejahteraan manusia di bumi,
kerena kehadiran merekalah Tuhan menahan murka-Nya; Tuhan tidak
menjatuhkan azab yang membinasakan umat manusia. lbnu Umar meriwayatkan
hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah menolak
bencana –karena kehadiran Muslim yang saleh– dari seratus keluarga
tetangganya.” Kemudian ia membaca firman Allah, “Sekiranya Allah tidak
menolakkan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya sudah
hancurlah bumi ini” (QS 2: 251).
Penghulu
para awliya’ adalah quthb rabbani. Di antara quthb dan awtad ada abdal
(artinya, para pengganti). Disebut demikian, kerena bila salah seorang
di antara mereka meningggal, Allah menggantikannya dengan yang baru.
“Bumi tidak pernah sepi dari mereka,” ujar Rasulullah Saw., “Karena
merekalah manusia mendapat curahan hujan, karena merekalah manusia
ditolong” (Al-Durr Al-Mantsur, 1:765).
Abu
Nu’aim dalam Hilyat Al-Awliya’ meriwayatkan sabda Nabi Saw., “Karena
merekalah Allah menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan
tanaman, dan menolak bencana.” Sabda ini terdengar begitu berat sehingga
lbnu Mas’ud bertanya, “Apa maksud karena merekalah Allah menghidupkan
dan mematikan?”‘ Rasulullah Saw. bersabda, “Karena mereka berdoa kepada
Allah supaya umat diperbanyak, maka Allah memperbanyak mereka. Mereka
memohon agar para tiran dibinasakan, maka Allah binasakan mereka.
Mereka berdoa agar turun hujan, maka Allah turunkan hujan. Karena
permohonan mereka, Allah menumbuhkan tanaman di bumi. Karena doa
mereka, Allah menolakkan berbagai bencana.” Allah sebarkan mereka di
muka bumi. Pada setiap bagian bumi, ada mereka. Kebanyakan orang tidak
mengenal mereka. Jarang manusia menyampaikan terimakasih khusus kepada
mereka.
Kata
Rasulullah Saw., “Mereka tidak mencapai kedudukan yang mulia itu
karena banyak shalat atau banyak puasa.” Sangat mengherankan; bukanah
untuk menjadi awliya’, kita harus menjalankan berbagai riyadhah atau
suluk, yang tidak lain daripada sejumlah zikr, doa, dan ibadah-ibadah
lainnya? Seperti kita semua, para sahabat heran. Mereka bertanya, “Ya
Rasulullah, fima adrakuha?” Beliau bersabda, “Bissakhai wan-Nashihati
lil muslimin” (Dengan kedermawanan dan kecintaan yang tulus kepada kaum
Muslim). Dalam hadis lain, Nabi berkata, “Bishidqil wara’, wa husnin
niyyati, wa salamatil qalbi, wan-Nashihati li jami’il muslimin” (Dengan
ketaatan yang tulus, kebaikan niat, kebersihan hati, dan kesetiaan
yang tulus kepada seluruh kaum Muslim) (lihat Al-Durr Al-Mantsur,
1:767).
Jadi,
yang mempercepat orang mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah Swt.
bukanlah frekuensi shalat dan puasa. Bukankah semua ibadah itu
hanyalah ungkapan rasa syukur kita kepada Allah, yang seringkali jauh
lebih sedikit dari anugerah Allah kepada kita?
Yang
sangat cepat mendekatkan diri kepada Allah, pertama, adalah al-sakha
(kedermawanan). Berjalan menuju Allah berarti meninggalkan rumah kita
yang sempit –keakuan kita. Keakuan ini tampak dengan jelas pada “aku”
sebagai pusat perhatian. Seluruh gerak kita ditujukan untuk “aku”.
Kebahagian diukur dari sejauh mana sesuatu menjadi “milikku.” Orang yang
dermawan adalah orang yang telah meninggalkan “aku.” Ia sudah bergeser
ke falsafah “Untuk Dia”.
Karena
itu Nabi Saw. bersabda, “Orang dermawan dekat dengan manusia, dekat
dengan Tuhan dan dekat dengan surga. Orang bakhil jauh dari manusia,
jauh dari Tuhan dan dekat dengan neraka”. Tanpa kedermawanan, shalat,
shaum, haji dan ibadah apa pun tidak akan membawa orang dekat dengan
Tuhan. Dengan kebakhilan, makin banyak orang melakukan ibadat makin jauh
dia dari Tuhan. Orang dermawan sudah lama masuk dalam cahaya Tuhan,
sebelum mereka masuk ke surganya. Kedermawanan telah membawanya dengan
cepat ke stasiun-stasiun terakhir dalam perjalanannya menuju Tuhan.
Kedua,
yang mengantarkan orang sampai kepada kedudukan abdal, adalah
kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim. Kesetiaan yang tulus
ditampakkan pada upaya untuk menjaga diri dari perbuatan yang
merendahkan, menghinakan, mencemooh atau memfitnah sesama Muslim. Di
depan Ka’bah yang suci, Nabi Saw. berkata, “Engkau sangat mulia. Tetapi
disisi Allah lebih mulia lagi kehormatan kaum Muslim. Haram kehormatan
Muslim dirusakkan. Haram darahnya ditumpahkan.”
Belum
dinyatakan setia kepada Islam sebelum orang meninggalkan keakuannya.
Banyak orang merasa berjuang untuk Islam, walaupun yang diperjuangkan
adalah kepentingan akunya, kepentingan kelompoknya, kepentingan
golongannya. Mereka memandang golongan yang lain harus disingkirkan,
karena pahamnya tidak menyenangkan paham mereka. Mereka hanya mau
menyumbang bila proyek itu dijalankan oleh golongannya. Mereka hanya mau
mendengarkan pengajian bila pengajian itu diorganisasi atau dibimbing
oleh orang-orang dari kelompoknya. Apa pun yang diperjuangkan tidak
pernah bergeser dari keakuannya. Ia merasa Islam menang apabila
kelompoknya menang. Ia merasa Islam terancam bila kepentingan
golongannya terancam. Ia telah beragama, ia telah mukmin; tetapi
agamanya masih berkutat dalam keakuannya.
An-nashihat
lil muslimin (kesetiaan yang tulus kepada kaum Muslim) melepaskan
keakuan seorang mukmin. Ia memberinya kejujuran dalam ketaatan,
ketulusan niat, dan kebersihan hati. Ia juga yang mengantarkannya kepada
kedudukan tinggi di sisi Allah. Karena kedermawanan dan kecintaan
kepada kaum Muslim, Anda juga dapat menjadi kekasih Tuhan.
Wahai
hamba-hamba Allah, berangkatlah kalian menuju Tuhanmu. Percepatlah
perjalanan kalian dengan kedermawanan dan kesetiaan yang tulus kepada
seluruh kaum Muslim.
(Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik: Membuka Tirai Kegaiban, Bandung, Mizan, 1995, h. 168-171)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar