yariat berasal dari Bahasa Arab, menurut Kamus Al-Munawir ialah jalan yang lurus (at-tariqat al-mustaqimat), yakni jalan yang dengan mudah dapat mengantarkan seseorang ke tempat yang ia tuju.[1]
Dalam
perkembangan selanjutnya, istilah Syariat oleh para ulama
dipergunakan untuk pengertian “segala aturan” yang ditentukan A11ah
untuk para hamba-Nya. baik yang berkenaan dengan soal-soal akidah
maupun yang bertalian dengan masalah-masalah hukum. Aturan-aturan yang
telah ditetapkan Allah itu dinamai Syariat, karena pada umumnya
bersifat tegas dan jelas sehingga mudah dimengerti dan diikuti
bagaikan jalan raya (tol) yang mulus tanpa ada tikungan dan simpangan.
Atau, laksana air yang terns mengalir memberi daya hidup bagi tubuh
manusia, aturan-aturan yang ditetapkan Tuhan, menggerakkan suasana
kehidupan rohani yang mantap dan mengarahkan akal pikiran ke arah
berpikir yang sehat dan dinamis.
Al-Quran al-Karim, yang dalamnya juga kita jumpai kata syara`a dan syara`u (surat asy-Syura: 13 dan 31), mempergunakan kata syir`at dan syariat (masing-maring
lihat surat al-Maidah: 48 dan al-Jasiyah: 18) dalam arti jalan atau
aturan-aturan agama yang telah ditetapkan Tuhan untuk kehidupan umat
manusia.[2]
Istilah syara`i jamak dari kata Syariat pada
masa-masa awal Islam digunakan untuk pengertian masalah-masalah pokok
ajaran Islam. Orang-orang Arab Badui. konon diriwayatkan pernah
meminta Nabi supaya mengutus seseorang guna mengajarkan “syara`i al-lslam” kepada mereka. Yang dimaksudkan tentu adalah ajaran-ajaran pokok agama Islam.
Dalam
pada itu istilah Syariat di masa-masa awal Islam tampaknya mempunyai
ruang-lingkup yang luas seluas ajaran-ajaran Islam itu sendiri, tidak
hanya menyangkut aspek hukum seperti yang umum dikenal di masa-masa
kemudian, akan tetapi juga mencakup masalah kalam dan lain-lain. Tapi
dalam perkembangan selanjutnya. istilah Syariat kelihatannya
mengalami penyempitan jangkauan hingga akhirnya terbatas pada
masalah-masalah hukum.[3]
Dewasa
ini hila disebut kata syariat, hampir dapat dipastikan bahwa yang
dimaksud adalah hukum Islam atau fikih. Dan umum memang menganggap
Syariat itu identik dengan fikih. Bukan saja karena keduanya mempunyai
hubungan erat yang tak dapat dipisahkan, melainkan juga karena satu
sama lain dipergunakan dalam pengertian yang persis sama.[4]
Namun
demikian tidak berarti bahwa antara Syariat dan fikih sama sekali
tidak ada perbedaan di balik hubungan erat dan persamaan antara
keduanya. Di antara perbedaan yang menonjol antara syariat dan fikih
ialah:
Pertama: Syariat merupakan hak prerogative Allah
yang kompetensi untuk menetapkannya paling banter hanya dideligasikan
kepada Nabi Muhammad. Sedangkan fikih merupakan ketentuan-ketentuan
hukum yang ditetapkan manusia yakni para fukaha (para pakar hukum Islam)
sebagai basil ijtihad mereka setelah melakukan pemahaman terhadap
al-Qur`an dan al-Hadis.
Penggunaan
istilah Syariat Allah dan syariat Nabi Muhammad tidak fikih Allah dan
fikih Muhammad. mengisvaratkan tentang perbedaan antara fikih dengan
syariat. Demikian pula sebutan fikih Hanafl. fikih Maliki. fikih Fikih
Syafi’i dan fikih Hambali; tidak syariat Hanafi, syariat Maliki dan
lain-lain.
Al-Quran scndiri
secara tidak langsung membedakan antara Syariat dengan fikih. Berbeda
dengan kata fikih (dalam alQuran tersebut 2o kali kata fikih) yang semuanya dikaitkan dengan manusia, al-Quran melalu menghubungkan kata Syariat dengan Allah, kecuali pada kata syara`u yang
terdapat dalam surat asy-Syura ayat 31 . Dalam ayat ini kata syari`at
dipertalikan dengan umat manusia, tetapi itu pun dalam nada pernyataan
ketidak setujuan Allah terhadap mereka yang membuat buat Syariat.
Kedua:
karena Syariat Islam itu merupakan aturan yang ditetapkan Allah dan
atau Rasul-Nya (Muhammad), maka Syariat apa pun alasannya tidak dapat
dirobah atau diganti oleh siapa, kapan dan di mana pun. Sedangkan
fikih Islam, yang mamerupakan hasil ijtihad mujtahid, kapan dan di mana
perlu pada prinsipnya boleh dirobah.
Ketiga:
syariat Islam pada umumnya berisi ketentuan-ketentuan hukum dasar yang
bersifat global dan berjumlah relatif sedikit, sedangkan fikih Islam
yang merupakan penjabaran syariat Islam, pada umumnya bersifat
terperinci dan berjumlah banyak.
Keempat:
syariat Islam bersifat kekal dan universal. sementara fikih Islam
setidak-tidaknya dalam perkara-perkara tertentu boleh jadi bersifat
Iokal dan temporal. Sebutan-sebutan fikih Irak, fikih Hijaz dan
lain-lain umpamanya, menunjukkan keelokan fikih Islam dalam arti bisa
berbeda antara fikih negara Islam yang satu dengan fikih negara Islam
yang iain. Demikian pula tentang perubahan ketentuan hukum fikih dari
waktu ke waktu. Sedangkan syariat tidak pernah terdenaar istilah
syariat Saudi Arabia, syariat Mesir; syariat Pakistan atau syariat
Indonesia dan iain-lain. Yang ada ialah istilah syariat Allah, syariat
Nabi Muhammad dan syariat Islam.[5]
Pengertian Tarekat
Tarekat (tariqat) secara harfiah berarti jalan, cara, atau metode[6].
Dalam lapangan tasawuf, istilah ini sampai abad ke-11 (5 H) dipakai
dengan pengertian: jalan yang harus ditempuh oleh setiap calon sufi
untuk mencapai tujuannya, yaitu berada sedekat mungkin dengan Allah,
atau dengan kata lain berada di hadirat-Nya tanpa dibatasi oleh hijab
(hijab berarti dinding yang membatas,. mata batin seseorang dengan
Allah). Pada jalan tersebut terdapat sederetan maqam-maqam
(stasion-stasion atau tahap-tahap) yang harus dilalui, seperti maqam
tobat, zuhud, sabar, rida, mahabbah (cinta), dan makrifatullah
(mengenal Allah dengan hati-nurani). Bila calon sufi itu telah mencapai
maqam makrifatullah, maka ia bukan lagi calon, tapi meningkat menjadi
sufi secara aktual. Sejak berdirinya organisasi-organisasi atau
kesatuan-kesatuan jemaah para sufi dengan para murid atau pengikut
masing-masing pada abad ke- 12 (6 H), istilah tarekat tidak lagi hanya
mengandung arti jalan, seperti dijelaskan di atas, tapi juga
mengandung arti organisasi atau kesatuan jemaah sufi dengan murid atau
pengikutnya tersebut.[7]
Sufi
menjadi pemimpin tarekat (dalam arti kedua) ini disebut Syekh. Pada
mulanya tempat tinggal Syekh tarekat itu menjadi pusat kegiatan
pendidikan dan pembinaan para anggota tarekat, tetapi kemudian segera
bermunculan ribat, sebagai perkampungan khusus untuk pembinaan
tersebut. Anggota tarekat terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok
murid atau pengikut yang tinggal dalam ribat dan memusatkan perhatian
pada ibadat, dan kelompok pengikut awam yang tinggal di luar ribat,
serta tetap bekerja dengan pekerjaan mereka sehari-hari, tetapi pada
waktu-waktu tertentu mereka ikut berhimpun dalam ribat untuk menjalani
latihan spiritual.[8]
Perluasan
tarekat itu biasanya berlangsung sebagai berikut: murid yang telah
dipandang oleh Syekh berhasil mencapai tingkat tertinggi, memperoleh
ijazah (suatu pengakuan boleh menjadi guru tarekat) dari Syekh
tersebut. Pemegang ijazah itu keluar dari ribat dan selanjutnya
mengadakan serta memimpin ribat yang serupa di tempat lain. Semakin
banyak murid yang menerima ijazah berarti semakin banyak pula
kemungkinan berdirinya ribat-ribat baru. Ribat yang baru ini pada
gilirannya tentu menghasilkan pula guru-guru tarekat. Demikianlah
sebuah tarekat dengan sebuah ribat, yang berdiri di sebuah tempat,
dapat meluas ke berbagai penjuru dunia Islam, dengan jumlah ribat yang
banyak Tidak semua cabang atau ranting suatu tarekat, menghubungkan
tarekatnya kepada nama tokoh pendiri pertama, tapi kepada Syekh pendiri
cabang atau ranting itu sendiri. Itulah sebabnya nama-nama tarekat
yang bermunculan di dunia Islam berpuluh-puluh atau ratusan banyaknya.[9]
Sejarah
Islam menunjukkan bahwa tarekat-tarekat, sejak bermunculan pada abad
ke-12 (6 H), mengalami perkembangan yang pesat. Dapat dikatakan bahwa
dunia Islam., sejak abad berikutnya (13/7 H), pada umumnya
dipengaruhi oleh tarekat. Tarekat-tarekat tampak memegang peranan yang
cukup besar dalam menjaga eksistensi dan ketahanan umat Islam,
setelah mereka dilabrak secara mengerikan oleh gelombang-gelombang
serbuan tentara Tartar (kota Bagdad sendiri dimusnahkan tentara Tartar
itu pada 1258 (656 H).[10]
(Sejak penghancuran demi penghancuran yang dilakukan oleh tentara
Tartar itu, Islam yang diperkirakan orang akan lenyap, tetap saja mampu
bertahan, bahkan dapat merembes memasuki hati turunan para penyerbu
itu dan memasuki daerah-daerali baru. Pada umumnya para anggota
tarekatlah yang berperan dalam penyebaran Islam, sejak kehancuran kota
Bagdad itu.[11]
Tarekat-tarekatlah yang menguasai kehidupan umat Islam selama zaman
pertengahan sejarah Islam (abad ke-13-18/ 7-12 H). Pengaruh tarekat
mulai mundur sejak awal abad yang lalu. Serangan-serangan terhadap
tarekat, yang dulunya dipelopori oleh Ibnu Taimiyah (w. 1327/ 728 H)
terdengar semakin gencar dan kuat di masa modern. Tokoh-tokoh pembaharu
dalam dua abad terakhir ini pada umumnya memandang bahwa salah satu di
antara sebab-sebab mundur dan lemahnya umat Islam adalah pengaruh
tarekat yang buruk (antara lain: menumbuhkan sikap taklid, sikap
fatalistic, orientasi yang berlebihan kepada ibadat dan akhirat, dan
tidak mementingkan ilmu pengetahuan).[12]
Dari
sekian banyak tarekat yang pernah muncul sejak abad-abad ke-12 (6 H)
itu, dapat dicatatkan antara lain: Tarekat Qadiriyah (dihubungkan
kepada Syekh Abdul-Qadir al-Jailani, yang wafat di Irak pada 1161
(561 H), yang mempunyai penganut di Irak, Turki, Turkestan, Sudan,
Cina. India, dan Indonesia; Tarekat Rifa’ivah (dihubungkan kepada
Syekh Ahmad ar-Rifa’i, yang juga wafat di Irak pada 1182 (578 H), yang
mempunyai pengikut di Irak dan Mesir; Tarekat Syaziliyah (dihubungkan
kepada Syekh Ahmad asy-Syazili, yang wafat di Mesir pada (1258/658 H),
yang mempunyai pengikut di Mesir, Afrika Utara, Siria, dan negeri Arab
lainnya: Tarekat Maulawiyah (dihubungkan kepada Syekh Maulana
Jalaluddin Rumi, yang wafat di Konya/Turki pada 1273/ 672 H), yang
berpengaruh pada masyarakat Turki: Tarekat Naqsyabandiyah
(dihubungkan kepada Syekh Bahauddin Naqsyabandi yang wafat di Bukhara
pada 1389 (791 H), yang mempunyai pengikut di Asia Tengah, Turki,
India, Cina, dan Indonesia; dan Tarekat Syattariyah (dihubungkan
kepada Syekh Abdullah asySyattari yang wafat di India pada 1236 (633
H), yang mempunyai pengikut di India dan Indonesia.[13]
Pengertian Hakikat
Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-benar ada. Kata ini berasal dari kata pokok hak (al-Haq), yang
berarti milik (kepunyaan) atau benar (kebenaran). kata Haq, secara
khusus oleh orang-orang sufi sering digunakan sebagai istilah untuk
Allah, sebagai pokok (sumber) dari segala kebenaran, sedangkan yang
berlawanan dengan itu semuanya disebut batil (yang tidak benar).[14]
Dalam
ilmu tasawuf, hakikat merupakan salah satu bagian (tingkat) dari
empat tingkatan ilmu: syariat, tarekat, makrifat dan bakikat. Syariat,
sebagai ilmu yang paling awal, mempelajari tentang amal ibadat dan
muamalat secara lahir.[15]
Tarekat, sebagai ilmu kedua, mempelajari tentang latihan-latihan
rohani dan jasmani yang dilakukan sekelompok umat Islam (para sufi)
menurut ajaran-ajaran tertentu, yang tujuan pokoknya adalah untuk
mempertebal iman dalam hati para pengikutnya, sehingga tidak ada lagi
yang lebih indah dan dicintai selain daripada Allah. Makrifat, sebagai
tingkat ketiga, mempelajari tentang bagaimana mengetahui sesuatu
dengan seyakin-yakinnya. Makrifat yang dimaksud di sini, adalah ma`rifatullah (mengenal
Allah) baik zat-Nya, sifat-Nya maupun asma-Nya. Hakikat, sebagai
tingkat terakhir dan lanjutan dari makrifat, berusaha menunjukkan basil
dari makrifat itu ke dalam wujud yang sebenar-benarnya, atau pada
tingkat kebenaran yang paling tinggi.[16]
Hakikat
itu baru akan dicapai sesudah seseorang memperoleh makrifat yang
sebenarbenarnya. Dan hakikat ini, hanya dapat dicapai dalam keadaan
fana (hilangnya kesadaran diri dan alam sekelilingnya), karena hanya
dalam keadaan yang demikianlah terbuka dan tersingkapnya tirai penutup
yang merintangi seorang hamba dengan Tuhannya (kasyf al-mahjub). Dengan
demikian, hakikat merupakan puncak dari basil yang dicapai kaum sufi
dalam usaha pendakian spiritual melalui tarekatnya. Dan biasanya,
seorang sufi yang telah mencapai ma`rifatullah yang hakiki disebut ahli hakikat (ahlu al-Haqiqah).[17]
Menurut
Ibnu Arabi, hakikat wujud ini adalah satu dalam jauhar dan zatnya,
tetapi berbilang dalam sifat dan asmanya. Selanjutnya ia mengatakan:
“Manakala engkau meninjau dari sudut zat-Nya, engkau akan berkata,
itulah Haq. Dan apabila engkau meninjau dari sudut sifat dan asma-Nya,
dari sudut terjadinya segala sesuatu yang mumkinat, niscaya engkau
berkata, itulah makhluk atau alam”.[18]
Hakikat
juga dapat berarti ungkapan yang digunakan untuk menunjukkan maknanya
yang pertama (makna yang sebenarnya), kebalikan dari ungkapan majas (metafor).
Akan tetapi ada beberapa ungkapan majaz yang sudah sering digunakan,
sehingga menjadi semacam konvensi, majaz seperti ini dapat disebut
sebagai hakikat secara adat kebiasaan (haqiqat al-`urfiyat).[19]
Hubungan Antara Syari`at, Tarekat, dan Hakikat
Syariat
adalah didisplin keIslaman yang menggarap aspek lahiriyah. Seiring
klasifikasi zaman, syariat mengalami penyempitan arti dan garapan
secara normatif yaitu fiqih.sedangkan asal mulanya syari`at merupakan
pokok-pokok ajaran Islam yang masih utuh meliputi Tauhid, Hukum Islam,
dan Akhlak. Menurut Fajrurrahman, Tauhid adalah bangunan pondasi yang
menjadi pijakan utama dalam beragama dan syariat aturan formal yang
membingkai aspek kehidupan secara legal. Adapun akhlak bidang garapan
yang lahannya tingkah laku manusia dengan pendekatan sentuhan hati
nurani untuk di aplikasikan dalam praktik kehidupan sehari-hari
berdasarkan Al-Qur`an As-Sunnah.
Dari
ketiga bidang di atas bila didalami, dihayati dan diamalakn oleh
setiap kaum muslimin secara kontinyu (istiqomah) berdampak positif pada
kehidupan sehari-hari. Para sufi dalam menterjemahkan ketiga aspek ini
secara konstektual menjadi sebuah disiplin keilmuan dalam Islam yaitu
Ilmu Tasawuf. Imam Al-Gazali dan Ihya Ulumuddin mengkombinasikan
tauhid, fiqih, dan akhlak menjadi satu kesatuan yang utuh (saling
terkait).
Kolerasi antara syariat
dan hakikat bagaikan anak tangga yang satu sama lain saling
berhubungan, tidak akan pernah ada hakikat tanpa jalan makrifat,
makrifat tidak pernah ada tanpa melalui latihan (thariqat), Thariqat
tidak pernah jalan tanpa adanya syari`at dan syari`at sendiri muncul
karena adanya tauhid.
Untuk mempermudah pamahaman, penulis sekemakan sebagai berikut:
1. Tauhid sebagai landasan utama dalam bertasawuf
2. Syari`at sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan pandual Al-qu`an dan Al-Hadits.
3. Thariqat sebagai wahan latihan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan Mujahadah dan Muraqabah akhirnya tibul istiqamah
4. Ma`rifah adalah buah dari tariqat di atas yang berinflikasi kasyaf, mengetahui hakikat Tuhan.